Potret Kehidupan Petani Pedesaan Dalam Perubahan: Antara Lokal, Pasar, dan Global
berangkat bersama-sama guyub rukun sesama petani sambil berdendang tetembangan canda ria seolah tiada beban menjalani kehidupan sebagai petani.
Wus meh rahinoo…..
sumurat bang ing wetan prenaahe.
para tani wiwit mangkat anggarap sawahe.
amanggul pacul garu luku anggerek kebone.
andelidir anglur selur datan ono pedote.
gliyak_gliyak anggliyak tansah rame ing gawe.
sesambene tetembangan laraas lelagooooone.
pagi menjelang…
ditandai semburat awan merah dari arah timur.
para petani mulai berangkat ke sawah
memanggul pacul garu luku sambil menggiing kerbaunya
berangkat silah berganti tiada putusnya
berlenggak lenngok semangat dalam bekerja
sembari berdendang lagu yang merdu
syair itulah yang digambarkan ki NARTOSABDO, maestro dalang era 70-80an tentang kehidupan petani desa yg hidup serba kekurangan dan keterbatasan. tapi punya etos kerja tinggi dan semangat kebersamaan rukun guyub.
saling menolong ikhlas dalam menjalani kehidupan. supaya nanti hasil panennya melimpah ruah dan akhirnya ekonomi terngkat murah sandang murah pangan.
menjelang panen
mungguh pedahe
wanci ngunduh tikel pametone
subur makmur muraah sandang pangan wekasane
//
sebuah cerita mengenai Petani Pegunungan di Dukuh Sawangan,
Desa Tlogopakis, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan Jawa
tengah
Pendahuluan : Mitos Daerah Pegunungan dan Perubahan
Ketika mendengar akan pergi ke daerah Petungkriyono, saya membayangkan disana akan menemukan sekelompok masyarakat yang masih sederhana dan bersahaja, jujur, tidak memperlakukan uang seperti bagaimana orang kota, masyarakat tanpa stratifikasi sosial yang ketat, petani dengan pola subsistensi dan ekonomi moral seperti yang dibayangkan oleh James Scott(1). Gambaran sebuah desa yang terisolir, dan bebas dari arus globalisasi. Imajinasi ini dibentuk oleh informasi-infomasi mengenai Petungkriyono yang saya dapatkan sebelumnya, baik cerita orang-orang maupun dari buku-buku yang bercerita tentang petungkriyono dan daerah pedalaman di Jawa. Mereka pada umumnya mengambarkan Petungkriyono sebagai sebuah desa yang terisolir, di tengah hutan belantara, dan berada di pegunungan. Untuk bisa menuju ke sana kita harus melalui hutan dan jalan yang menanjak. Namun ketika saya sudah berada di sana, imajinasi tentang Petungkriyono seperti gambaran di atas, mulai berubah. Memang, masyarakat di sana dalam kacamata saya adalah masyarakat yang bersahabat, bersahaja (dibandingkan dengan masyarakat kota tempat saya biasanya berada), namun masyarakat ini bukanlah masyarakat yang terisolir. Sarana transportasi umum sudah ada di sana dan saya juga menemukan masyarakat yang sudah mempunyai televisi (bahkan ada yang lengkap dengan parabolanya), vcd player, sepeda motor, dan rumah-rumah yang lantainya dilapisi dengan marmer. Di sana juga terlihat Helleur, sebuah teknologi untuk menggiling padi menjadi beras. “di sini sudah berubah”, itulah ungkapan dari salah seorang penduduk desa.
Sekilas gambaran mengenai masyarakat Petungkriyono ini, telah menuntun saya untuk menyimpulkan bahwa masyarakat di sana telah dan sedang mengalami transformasi. Sebagai daerah yang menyandarkan kehidupannya pada sektor pertanian, tansformasi juga terjadi di bidang pertanian. Proses transformasi pertanian pada dasarnya merupakan sebuah proses pembangunan pertanian, yaitu suatu proses perubahan pada berbagai aspek di bidang pertanian. Perubahan tersebut tidak hanya berupa mekanisasi dan teknologi namun lebih jauh lagi pada ekonomi dan kehidupan sosial mayarakatnya, seperti masalah perubahan identitas, otoritas, dan budaya masyarakat itu sendiri. Dengan demikian proses transformasi pertanian dapat dikatakan sebagai proses transformasi pedesaan.
Masyarakat Petungkiyono adalah masyarakat yang agraris. Untuk kebutuhan pangan, masyarakat menanam padi di sawah dengan memanfaatkan sungai-sungai yang ada di daerah tersebut sebagai pengairan. Tanaman pangan lainnya adalah jagung, ubi kayu, dan sayuran. Sementara itu, komoditi yang dihasilkan oleh masyarakatnya di sana adalah kopi, gula aren, cengkeh, vanili dan bawang daun (selong)(2) . Kopi, cengkeh, dan vanili, tidak mereka tanam dalam bentuk tegalan atau kebun, namun mereka menanamnya di hutan-hutan yang ada disekitar pemukiman mereka, sementara bawang daun (selong) ditanam dalam bentuk tegalan. Untuk Aren, mereka tidak menanamnya, karena aren ini tumbuh dengan sendirinya di hutan-hutan dan lahan milik mereka. Mereka juga memiliki hewan ternak seperti sapi dan ayam.
Keanekaragaman tanaman pangan dan tanaman komoditi ini jelas tidak tumbuh dengan sendirinya di dalam masyarakat. Mereka mulai menanamnya seiring dengan perubahan yang terjadi dalam diri mereka. Perubahan ini bisa disebabkan oleh adanya intervensi dari pemerintah, seperti progam “Revolusi Hijau”, dimana pemerintah mengenalkan bibit unggul kepada masyarakat dengan berbagai macam progamnya, seperti keberadaan BIMAS dengan para penyuluh pertanian yang membantu petani dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan baru dan pengenalan teknologi-teknologi pertanian, maupun kredit-kredit murah yang diberikan kepada petani untuk dapat meningkatkan usaha taninya. Dinamika politik yang terjadi, baik di tingkat lokal maupun nasional juga membawa perubahan kepada masyarakat (lihat Hefner 1999 dan Husken 1998). Begitupun dengan proyek-proyek pembangunan pemerintah, seperti pembangunan jalan-jalan yang telah memudahkan akses orang-orang luar masuk ke dalam desa, maupun penetapan kawasan hutan di daerah Petungkriyono sebagai kawasan hutan lindung. Keberadaan pohon pinus yang ditanam oleh pemerintah di hutan sekitar perkampungan juga membawa pengaruh kepada masyarakat. Masyarakat mendapatkan penghasilan tambahan dengan mengambil getah pinus dan menjualnya pada Perhutani. Selain itu, pengaruh pasar dunia (kapitalisasi dan globalisasi) yang telah menyentuh masyarakat di sana juga menjadi salah satu faktor penyebab. Tanaman vanili aja misalnya, menurut masyarakat di sana, pada saat harga vanili lagi mahal-mahalnya (sekitar tahun 2000-2002), banyak dari masyarakat yang menanam vanili. Namun ketika harga vanili jatuh, masyarakat tidak lagi mempedulikan tanaman vanili tersebut. Begitupun dengan dinamika internal dalam masyarakat itu sendiri, seperti bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini memperlihatkan adanya proses transformasi yang terjadi di sektor pertanian di Petungkriyono.
Dalam melihat transfomasi pertanian di pedesaan Jawa ini, kita harus membedakan antara masyarakat Jawa pegunungan(3) dengan masyarakat Jawa di dataran rendah. Perbedaan ini disebabkan petani pegunungan merespons desakan komersial dan demogafi secara amat berbeda dengan petani di dataran rendah (Lihat Hefner 1999). Hefner (1999: 379-380) dalam penelitiannya di daerah pegunungan Jawa menjelaskan bahwa meskipun sangat dipengaruhi oleh berbagai hal yang terjadi di sekitarnya, masyarakat dataran tinggi berbeda dengan gambaran masyarakat pertanian di dataran rendah. Tatanan sosial tidak dikelaskan ke dalam kelompok-kelompok sosial. Kepemilikan tanah didasarkan pada kepemilikan individu dan hak waris tanah, bukan kepemilikan komunal. Kebanyakan tanah pertanian digarap oleh pemiliknya sendiri. Pola patron-klien yang sangat umum di pertanian sawah Asia Tenggara secara jelas juga tidak dikenal pada masyarakat pegunungan. Dinamika interaksi di dataran tinggi ditentukan oleh para petani menegah yang bebas. Orang gunung bergantung pada tanahnya sendiri, bukan “jaminan subsistensi” dari patron yang membawahinya (Scott 1976:5), untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. (Hefner 1999:4).
Perbedaan antara masyarakat dataran rendah dan dataran tinggi ini juga menyebabkan telah tejadinya perbedaan perlakuan dari pihak-pihak luar, terutama penguasa. Menurut Li, daerah pegunungan (dan juga masyarakat pedalaman) Indonesia, telah terbentuk sebagai wilayah yang tersisih melalui perjalanan sejarah keterlibatan politik, ekonomi, dan sosial dengan daerah dataran rendah, yang sudah lama dan masih terus berlangsung. Ketersisihan ini pada akhirnya menyebabkan masyarakat pegunungan dan masyarakat pedalaman, identik dengan masyarakat yang terisolir. Padahal menurut Colombijn (yang dikutip oleh Li dalam Anthony Reid 1988), pusat-pusat konsentrasi penduduk Indonesia pada masa prakolonial bukanlah di daerah pesisir, melainkan di daerah pedalam, dan khususnya di lembah-lembah dan dataran tinggi pegunungan. Pemusatan ini didasarkan atas alasan ekonomi dan politik (Li, 2002:11). Bahkan Semedi (2006: 129) menjelaskan kalau pelabelan sebuah daerah sebagai daerah terisolir adalah mitos belaka. Sebuah mitos yang dibuat oleh penguasa, masyarakat, dan para ahli atau akademisi.
Salah satu bentuk mitos ini dapat dilihat pada penetapan hutan sebagai kawasan hutan lindung. Dalam melihat hutan lindung ini, Li menjelaskan bahwa karena hutan di Jawa hanya memberikan “bagian yang sangat kecil dari pendapatan nasional yang berasal dari hutan (4)” (Barber 1989: 124), maka tujuan utama dari kegiatan pemerintah “mengelola hutan” di Jawa adalah mengontrol penduduk yang tinggal di daerah pedalaman ini, dan bukan untuk mencari pemasukan uang atau keuntungan. Pentingnya hutan bagi proses perluasan kontrol negara terhadap daerah pedalaman berlangsung tidak hanya sekedar menyangkut masalah pohon-pohonnya. Di pulau jawa menurut Li (mengutip Barber 1989) 50% dari jumlah penduduk tidak memiliki lahan, namun 23% dari luas lahan seluruhnya diklasifikasikan sebagai hutan negara, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan pertanian dan penggunaan lainnya, dan di dalam kawasan hutan negara ini, yang tersisa hanyalah bekas-bekas hutan alam, dan tumbuhan jati dan pinus yang sangat tidak produktif. Padahal di perbatasan “hutan” ini terdapat enam ribu desa, yang dihuni 30 juta jiwa, yang sebagian besar di antaranya mendapatkan penghasilan dari hutan (Li 2002: 26-28).
Di daerah Petungkriyono, mitos-mitos ini tergambar dengan pelabelan daerah ini sebagai daerah terisolir ke dua di Jawa Tengah sesudah daerah kepulauan seribu oleh pemerintah (Semedi 2006: 128). Kemudian mitos-mitos ini berlanjut dengan penetapan daerah Petingkriyono sebagai daerah Eko Wisata atau wisata alam oleh pemerintah Kabupaten Pekalongan. Pemerintah juga menyediakan sebuah tempat bagi masyarakat yang ingin berwisata dengan melihat kawasan hutan yang asri dan lengkap dengan fasilitas kempingnya yang disebutnya dengan camping ground. Namun, walaupun berada dalam kondisi yang “terisolasi”, Petungkriyono bukanlah daerah yang benar-benar terisolasi. Berbagai intervensi dengan kepentingan masing-masing ternyata telah sampai menyentuh kehidupan masyarakat.
Kehidupan Petani Sawangan: Antara Moral dan Rasional
Pak Daliri adalah salah seorang informan saya waktu berada di Sawangan. Dia adalah menantu dari mbah Bahu, kepala dukuh Sawangan. Pada awalnya dia tinggal besama mertuanya, namun sekarang dia sudah membangun sebuah rumah di sebuah tanah milik mertuannya yang berada di belakang rumah mertuanya. Dia tinggal bersama istri dan tiga oang anaknya. Anak tertuanya sudah menikah dan mempunyai seorang anak dan tinggal bersama mereka. Menurut pak Daliri, mayoritas penduduk sini pekerjaannya adalah bertani. Pertanian di sini adalah pertanian lahan basah dan lahan kering. Lahan basah di tanami dengan padi, sementara lahan kering yaitu : Aren, Kopi, cengkeh, ubi kayu, rumput gajah, pocung, nangka, kelapa, pisang, pepaya, jengkol, durian, bambu, petai, vanili, tomat, dan lainnya. Tumbuhan ini tidak semuanya mereka tanam, tapi ada juga yang tumbuh dengan sendirinya. Tumbuhan yang di tanam adalah : kopi, cengkeh, ubi kayu, rumput gajah, vanili, tomat, cabe, pisang, sementara yang lain seperti : Aren, Pocung, Nangka, Durian, Kelapa, bambu, Jengkol, Petai, itu tumbuh dengan sendirinya. Pak Daliri sendiri mempunyai sawah, kopi di hutan, Aren, dan tumbuh-tumbuhan lainnya seperti nangka, jengkol, petai, dan sapi. Untuk memenuhi makanan sapinya, dia juga menanam rumput gajah di lahan kering di sekitar pemukiman.
Kopi lebih banyak di tanam di hutan. Karena cuaca di hutan lebih cocok dengan kopi dibandingkan jika menanam kopi di seikitar daerah pemukiman. Kelembaban suhu dan hutan yang rimbun menyebabkan buah kopi lebih banyak dan lebih besar dibandingkan dengan cuaca di sekiar pemukiman yang panas yang menyebabkan buah tumbuh tidak banyak. Rata-rata di tanam sebanyak 1000 sampai 2000 batang perhektar/area. Waktu menanam kopi, mereka hanya membersihkan hutan dari semak belukar yang ada. Mereka tidak menebang pohon-pohon yang ada di hutan untuk di buka areal kopi, namun mereka menanam kopi ini di sela-sela pohon besar tersebut. Hal ini disebabkan karena menurut pak Daliri, hutan tersebut adalah hutan miliki Perhutani (pemerintah) dan masyarakat dilarang untuk menebang kayu di hutan tersebut. Selain kopi, mereka juga mengambil kayu bakar, bambu, dan rumput gajah di hutan. Selain itu, mereka juga ke hutan untuk mengambil tanaman mereka yang sudah bisa panen seperti; nangka, kelapa, durian, jengkol, petai, pocung dan aren.
Daerah di sekitar hutan juga mereka tanami dengan berbagai tumbuhan tersebut. terutama pisang, ubi kayu, pepaya, cabe rawit dan tomat. Hasil dari tumbuhan ini digunakan untuk keperluan dapur mereka sehari-hari. Selain itu mereka juga menanam rumput gajah. Penanaman ruput gajah ini disebabkan karena rumput gajah adalah makanan utama dari sapi mereka. Banyaknya masyarakat yang memelihara sapi, menyebabkan ketersediaan rumput gajah di hutan semakin berkurang, sehingga mereka menanam rumput gajah ini untuk lebih memudahkan mereka mengambil ruput gajah dan menjamin ketersediaan makanan bagi sapi mereka.
Ketika musim kemarau, air yang mengairi sungai mereka menjadi kecil. Sawah-sawah mereka juga menjadi kering. Dulunya, pada musin kemarau ini, sawah mereka yang kering ditanami dengan jagung. Namun sekarang ketika musim kemarau datang, mereka tidak lagi menanam jagung, namun hanya membiarkan sawah tersebut. Menurutnya, hal ini disebabkan karena banyak dari mereka yang merasa malas untuk menanam jagung, sebab jagung memerlukan pemeliharaan yang membutuhkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan padi. Lagipula di Sawangan tidak ada mesin penggolahan jagung. Masyarakat dulunya juga pernah menanam vanila di sini. Pada saat itu sekitar tahun 2000an, harga vanila sangat tinggi di pasaran, yaitu sekitar 200 ribu sampai 600 ribu rupiah. Banyak dari masyarakat yang kemudian menanam vanili di hutan-hutan dekat perkampungan mereka. Namun masyarakat tidak banyak yang bisa menikmati harga yang tinggi ini. Harga yang cukup tinggi ini tidak bertahan lama di pasaran. Ketika banyak pohon vanili masyarakat yang sudah berbuah dan dipanen, harga vanili jatuh drastis sampai lima ribu rupiah. Sekarang tanaman ini tidak lagi ditanam oleh masyarakat, dan kalaupun ada, pohonnya dibiarkan saja tanpa dioleh.
Kasus cengkeh juga hampir sama dengan vanili ini. Ketika cengkeh lagi mahal, banyak masyarakat yang kemudian menanam cengkeh. Semua ini menurut pak Daliri harus dilakukan oleh masyarakat. Sebab kehidupan sekarang tidak sama dengan waktu dulu. Semua kebutuhan hidup semakin meningkat. Hampir semua orang sekarang sudah mempunyai televisi. Bahkan ada beberapa orang di sini yang sudah mempunyai motor dan rumahnya dilantai dengan marmer. Selain kebutuhan untuk membeli barang-barang tersebut, kami juga membutuhkan uang untuk sekolah anak. Karena itu orang-orang sudah mulai mencari dan mengumpulkan uang agar bisa membeli semua kebutuhan tersebut. Kalau hanya bersandarkan kepada hasil panen padi, kami tidak akan bisa membeli semua kebutuhan tersebut. Padi hanya menjamin kebutuhan untuk makan. Karena lahan yang kami punyai hanyalah lahan untuk padi, maka kami perlu memelihara sapi agar bisa mencukupi kebutuhan lainnya. Masyarakat tidak bisa membuka lahan baru karena hutan di sana adalah milik Perhutani. Namun kami diperbolehkan untuk menanam kopi asal tidak menebang pohon-pohon yang ada di sana.Karena itu banyak warga sini yang kemudian membersihakan hutan agar bisa menanan kopi.
Mengikuti logika kaum ekonomi moral, beberapa bagian dari aktivitas pertanian di atas mengambarkan sistem pertanian yang berlandaskan ekonomi moral. Ini merujuk apa yang disampaikan oleh Scott (1982: 23-28), bahwa kehidupan ekonomi petani hanyalah sedikit di atas garis subsistensi mereka. Kondisi serba miskin ini akan memunculkan etika subsistensi, dimana tata ekonomi petani diikat oleh sistem moral, agar beban kerja dan rejeki terbagi secara merata sehingga tidak ada satu warga desapun yang sampai mengalami kelaparan. Ini berarti bahwa perilaku ekonomi masyarakat petani dilangsungkan berdasarkan prinsip safety first atau dahulukan selamat. Inovasi yang terjadi dalam masyarakat hanya terjadi apabila keamanan subsistensi sudah terjaga dan ia yakin benar bahwa investasi tadi akan mendatangkan hasil, dan ketika mereka merasa etika subsistensi mereka mendapatkan ancaman.
Masyarakat dalam pandangan kaum moralis ini adalah sebuah masyarakat yang harmonis, yang memberikan jaminan sosial bagi kelangsungan hidup warganya. Pada masyarakat di Sawangan, mereka bersandarkan kepada sawah sebagai pemenuhan kebutuhan meraka. Tidak ada tanaman lain yang mereka coba tanam sebagai tanaman lain penganti padi. Kasus Jagung misalnya, walaupun kondisi tanah mereka lebih cocok ditanami jagung karena kondisi kemarau yang melanda mereka, namun mereka tidak mencoba untuk menanam jagung. Mereka merasa takut dengan resiko yang akan mereka dapatkan kalau mereka menanam jagung. Cara lain yang dia lakukan adalah dengan menanam tanaman-tanaman yang harganya lagi mahal di pasaran. Ketika harga vanila lagi melambung tinggi dia juga menanam vanila. Pola-pola seperti ini diikuti oleh hampir semua warga masyarakat. Mereka menanam vanila ini di hutan-hutan sekitar tempat tinggal mereka. Begitupun saat harga cengkeh sedang tinggi, mereka pun banyak yang menanam cengkeh. Namun ketika pasar sudah tidak lagi menawarkan harga yang tinggi, maka tanaman-tanaman ini kemudian ditinggalkan. Sekarang kopi adalah komoditas utama mereka, selain tanaman-tanaman keras yang sudah tumbuh lama seperti nangka, pocung, dan duren. Semua aktivitas ini dilakukan karena sawah telah memberikan jaminan hidup bagi mereka.
Namun realita ini menjadi berbeda menurut cara pandang para kaum rasionalis. Popkin (1979) sebagai seorang tokoh “rasionalis”, mempunyai pemikiran bahwa ketika petani sudah melibatkan diri dalam ekonomi pasar, menanam komoditi, atau menjual tenaga ke pasar, hal ini disebabkan bukan karena mereka merasa etika subsistensi mereka terancam, melainkan karena mereka melihat bahwa pasar menawarkan peluang kehidupan yang lebih baik daripada yang ada di desa. Dalam kondisi sosial ekonomi di dalam desa yang demikian payah, maka tanpa disuruhpun ketika ekonomi pasar merembes ke pedesaan kaum peasant akan berbondong-bondong mengalir kesana. Desa-desa petani menurut Popkin sama sekali jauh dari kondisi harmonis dan penuh dengan ekploitasi. Bukannya diikat oleh moralitas kolektif, petani adalah manusia individual yang kepalanya penuh perhitungan untung rugi untuk kepentingan dirinya. Sebagai akibarnya, petani tidak mau sembarangan melibatkan diri dalam aktivitas kolektif bila secara subjektif dia tidak mendapatkan hasil (Sairin dkk 2002: 230).
Saya lebih melihat kondisi yang dialami oleh masyarakat di Sawangan ini sebagai sebuah bentuk petani dalam kondisi perubahan. Transformasi yang telah terjadi di bidang pertanian, selain menyebabkan terjadinya perubahan di berbagai aspek pertanian, juga pada aspek ekonomi dan sosial masyarakat. Pola moral yang terdapat pada masyakat sebelumnya juga telah berubah menjadi petani rasional seperti yang dijelaskan oleh Popkin. Kenalnya masyarakat dengan ekonomi pasar bukanlah seperti yang dijelaskan oleh kaum moralis, namun karena pasar lebih menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Mereka jadi lebih paham dengan tanaman-tanaman yang bisa menghasilkan uang lebih. Ini mempengaruhi mereka dalam memilih jenis tanaman yang akan mereka tanam. Kehidupan mereka yang berada dalam keadaan “terisolir” tidak membuat mereka menjadi “terisolir” juga dengan pengaruh globalisasi. Standar kedidupan lebih berdasarkan kepada kehidupan modern, yaitu memiliki televisi, vcd Player, bukan lagi rumah dari kayu, dilantai dengan marmer, punya sepeda motor, dan bersekolah. Parameter kehidupan bukan lagi berlandaskan kepada kebudayaan mereka, tetapi juga kepada kebudayaan luar atau pasar. Desa, dengan demikian tidak lagi berdiri sendiri, tapi telah ditarik oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar, sesuai dengan kepentingannya. Kehidupan menjadi lebih rasional. Tindakan-tindakan dilandasi oleh rasionalisasi mereka terhadap kehidupan. Pemilihan terhadap jenis tanaman, ataupun bagaimana mereka menyiasati kekurangan lahannya dengan memanfaatkan hutan
Transformasi Pertanian: Tarik Ulur Masyarakat Desa dengan Pihak Luar
Proses perubahan yang terjadi bukan hanya pada masalah material pertanian saja, akan tetapi juga pada masalah moral. Dampaknya menurut Hefner (1999: 1-2) terasa tidak hanya pada fakta lugas berupa pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi dan otoritas. Perubahan yang terjadi ini tidak dapat dipungkiri karena disebabkan oleh pertumbuhan kapitalisme industri di dunia. dalam kondisi globalisasi sekarang ini, dapat dikatakan tidak ada lagi masyarakat yang bebas dari pengaruh ekonomi global (pasar), sehingga masyarakat yang semula hidup berpedoman pada nilai-nilai norma dan budayanya, kemudian harus masuk ke dalam bagian kelompok daerah, negara, maupun ekonomi dunia, dan mereka menjadi bagian di dalamnya (5). Fenomena ini juga di dukung oleh argumennya Castell (2000) bahwa individu sudah terintegasi dengan jaringan global. Akibatnya cara pikir orang juga mengalami perubahan. Santoso (2006: 12) menambahkan bahwa masyarakat lokal dengan strukturnya kebutuhan yang stabil pada akhirnya harus bernegoisasi dengan dunia di mana identitas dan selera senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan produksi dan status.
Semuanya ini menyebabkan terjadinya pe-redefinisian dan re-orientasi serta re-negoisasi yang tidak hanya terkait dengan aspek produksi, tetapi juga konsumsi dan nilai-nilai budaya masyarakat. Kecenderungan baru ini yang lebih bernuansa mekanis dan rasional, disadari atau tidak, kini tengah merekonstruksi kerangka dasar dan corak kehidupan pada masyarakat pedesaan (lihat Santoso 2006: 12). Perubahan-perubahan pada masyarakat Sawangan ini terjadi sedemikian rupa sehingga menimbulkan konsekuensi-konsekuensi baru dalam segenap kehidupan, termasuk bagaimana mereka mendefinisikan dan menegosiasikan tindakan-tindakan tertentu yang terjadi di masa lalu. Orang kini lebih suka menanam tanaman yang berorientasi kepada pasar, atau mensiasati hutan-hutan disekitar mereka dengan menanaminya dengan tumbuhan-tumbuhan yang memiliki komoditi lebih. Kehidupan sosial mereka dulu yang lebih sederhana, berganti dengan kehidupan individual dan rasional.
Keterpinggiran dan kemiskinan yang dihadapi oleh orang Sawangan ini merupakan sebuah konsekuensi dengan masuknya pengaruh dari dunia luar. Mereka dengan gampangnya membandingkan dirinya dengan masyarakat desa Jawa lain yang lebih maju. Aspirasi-aspirasi baru dari masyarakat ini merupakan salah satu konsekuensi yang harus diterima dari perubahan dan pergeseran. Namun Hefner (1999) menyatakan perubahan dan pergeseran pada segenap sendi kehidupan masyarakat pedesaan, tidak bisa disederhanakan hanya dengan dua aspek ekonomi moral dan rasional ini. Ada aspek-aspek lain, kekuataan-kekuatan tertentu yang terkadang tidak secara langsung muncul ke permukaan, tetapi memberikan andil besar bagi perubahan dan pergeseran tersebut. Ketika masyarakat Sawangan mulai senang mengumpulkan uang untuk membeli televisi, vcd, dan sepeda motor, kita tidak bisa mengatakan bahwa mereka sedang memasuki peradaban modern yang rasional, tapi kita juga tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa mereka tertarik oleh bujuk rayu promosi iklan di berbagai media.
Namun kita tidak bisa menyederhanakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat petani di Sawangan ini terjadi semata-mata karena proses rasionalisasi individu-individu terhadap impian-impian kesejahteraan yang didasarkan kepada modernisasi. Tapi kita juga harus membuka mata terhadap kekuatan pasar dan intervensi yang dilakukan oleh pemerintah. Seperti yang disampaikan oleh Li (2002), bagi sebagian besar masyarakat di daerah pegunungan dan pedalaman, perubahan adalah keniscayaan, dan tidak dibebankan secara sepihak sebagai akibat dari penetrasi nilai-nilai dari luar, sebaliknya, perubahan merupakan akibat dari kreatif dalam suatu interaksi sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Masyarakat di Sawangan, walaupun sudah terintegrasi dengan jaringan global, dan juga telah mengalami perubahan dalam cara berfikir, mereka tidak akan dengan mudah menerima apapun yang datang dari luar tersebut dengan mudahnya. Mereka tetap mempunyai kebebasan dalam memilih. Sesuai dengan yang dipaparkan oleh Appadurai, suatu produk, entah itu barang atau informasi, ketika sudah dilepas dari proses produksinya, maka produk tersebut akan lepas relasinya dengan produksi dan mempunyai nilai sosial termasuk juga di dalamnya nilai politik. Masyarakat di Sawangan bebas menginterpretasikan produk-produk dari luar tersebut sesuai dengan kulturalnya. Semakin menguntungkan sesuatu yang mereka lihat dan mereka dengar, semakin cepat masyarakat mengadopsinya. Sebaliknya, semakin kecil keuntungan yang bisa diperoleh dari sana, semakin kecil pula peluang masyarakat menerimanya.
Catatan:
(1) Lihat Scott dalam bukunya Ekonomi Moral Petani (1981)
(2) Dari laporan penelitan lapangan Keluarga Mahasiswa Antropologi Universitas Gadjah Mada (1986), menjelaskan bahwa kecamatan Petungkriyono ini merupakan daerah penghasil selong terbesar untuk daerah Jawa Tengah. Selong ini lebih banyak ditanam di dukuh Rowo, Si Petung, Ndranan, dan Karang Gondang, sementara untuk Dukuh Sawangan, tidak ada masyarakat yang menanam selong. Menurut mereka ini lebih disebabkan karena keterbatasan lahan yang mereka punyai, karena itu lahan lebih diprioritaskan untuk tanaman pangan, seperti padi
(3) Dataran tinggi ini menurut Li (yang mengutip Allen dan Allen yang juga mengutip Spencer) sama dengan uplands, yang didefinisikan sebagai ‘daerah yang berbukit hingga bergunung dengan permukaan daratan yang cenderung terjal, yang berada di tempat yang tinggi’. Dalam defenisi ini juga dapat juga ditambahkan bahwa daerah ini umumnya tidak mendapatkan irigasi, tidak langsung berbatasan dengan pesisir, dan juga tidak mengalami banjir musiman (2002: xviii). Gambaran Li ini menurut saya cocok untuk menyatakan bahwa daerah Petungkriyono termasuk dalam kategori daerah pegunungan. Hefner (1999) juga menyebut orang gunung dengan “wong gunung” (uplanders) yang dipertentangkan dengan “wong ngare” (lowlanders) atau orang dataran rendah
(4) Kecil, dalam hal ini menurut jika dibandingkan dengan keuntungan yang diberikan oleh hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua
(5) Banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang menyimpulkan gejala seperti ini. Diantaranya lihat misalnya Roseberry (1989), Hayami dan Kikuchi (1987: 10-14), dan Santoso (2006:18)
Pendahuluan : Mitos Daerah Pegunungan dan Perubahan
Ketika mendengar akan pergi ke daerah Petungkriyono, saya membayangkan disana akan menemukan sekelompok masyarakat yang masih sederhana dan bersahaja, jujur, tidak memperlakukan uang seperti bagaimana orang kota, masyarakat tanpa stratifikasi sosial yang ketat, petani dengan pola subsistensi dan ekonomi moral seperti yang dibayangkan oleh James Scott(1). Gambaran sebuah desa yang terisolir, dan bebas dari arus globalisasi. Imajinasi ini dibentuk oleh informasi-infomasi mengenai Petungkriyono yang saya dapatkan sebelumnya, baik cerita orang-orang maupun dari buku-buku yang bercerita tentang petungkriyono dan daerah pedalaman di Jawa. Mereka pada umumnya mengambarkan Petungkriyono sebagai sebuah desa yang terisolir, di tengah hutan belantara, dan berada di pegunungan. Untuk bisa menuju ke sana kita harus melalui hutan dan jalan yang menanjak. Namun ketika saya sudah berada di sana, imajinasi tentang Petungkriyono seperti gambaran di atas, mulai berubah. Memang, masyarakat di sana dalam kacamata saya adalah masyarakat yang bersahabat, bersahaja (dibandingkan dengan masyarakat kota tempat saya biasanya berada), namun masyarakat ini bukanlah masyarakat yang terisolir. Sarana transportasi umum sudah ada di sana dan saya juga menemukan masyarakat yang sudah mempunyai televisi (bahkan ada yang lengkap dengan parabolanya), vcd player, sepeda motor, dan rumah-rumah yang lantainya dilapisi dengan marmer. Di sana juga terlihat Helleur, sebuah teknologi untuk menggiling padi menjadi beras. “di sini sudah berubah”, itulah ungkapan dari salah seorang penduduk desa.
Sekilas gambaran mengenai masyarakat Petungkriyono ini, telah menuntun saya untuk menyimpulkan bahwa masyarakat di sana telah dan sedang mengalami transformasi. Sebagai daerah yang menyandarkan kehidupannya pada sektor pertanian, tansformasi juga terjadi di bidang pertanian. Proses transformasi pertanian pada dasarnya merupakan sebuah proses pembangunan pertanian, yaitu suatu proses perubahan pada berbagai aspek di bidang pertanian. Perubahan tersebut tidak hanya berupa mekanisasi dan teknologi namun lebih jauh lagi pada ekonomi dan kehidupan sosial mayarakatnya, seperti masalah perubahan identitas, otoritas, dan budaya masyarakat itu sendiri. Dengan demikian proses transformasi pertanian dapat dikatakan sebagai proses transformasi pedesaan.
Masyarakat Petungkiyono adalah masyarakat yang agraris. Untuk kebutuhan pangan, masyarakat menanam padi di sawah dengan memanfaatkan sungai-sungai yang ada di daerah tersebut sebagai pengairan. Tanaman pangan lainnya adalah jagung, ubi kayu, dan sayuran. Sementara itu, komoditi yang dihasilkan oleh masyarakatnya di sana adalah kopi, gula aren, cengkeh, vanili dan bawang daun (selong)(2) . Kopi, cengkeh, dan vanili, tidak mereka tanam dalam bentuk tegalan atau kebun, namun mereka menanamnya di hutan-hutan yang ada disekitar pemukiman mereka, sementara bawang daun (selong) ditanam dalam bentuk tegalan. Untuk Aren, mereka tidak menanamnya, karena aren ini tumbuh dengan sendirinya di hutan-hutan dan lahan milik mereka. Mereka juga memiliki hewan ternak seperti sapi dan ayam.
Keanekaragaman tanaman pangan dan tanaman komoditi ini jelas tidak tumbuh dengan sendirinya di dalam masyarakat. Mereka mulai menanamnya seiring dengan perubahan yang terjadi dalam diri mereka. Perubahan ini bisa disebabkan oleh adanya intervensi dari pemerintah, seperti progam “Revolusi Hijau”, dimana pemerintah mengenalkan bibit unggul kepada masyarakat dengan berbagai macam progamnya, seperti keberadaan BIMAS dengan para penyuluh pertanian yang membantu petani dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan baru dan pengenalan teknologi-teknologi pertanian, maupun kredit-kredit murah yang diberikan kepada petani untuk dapat meningkatkan usaha taninya. Dinamika politik yang terjadi, baik di tingkat lokal maupun nasional juga membawa perubahan kepada masyarakat (lihat Hefner 1999 dan Husken 1998). Begitupun dengan proyek-proyek pembangunan pemerintah, seperti pembangunan jalan-jalan yang telah memudahkan akses orang-orang luar masuk ke dalam desa, maupun penetapan kawasan hutan di daerah Petungkriyono sebagai kawasan hutan lindung. Keberadaan pohon pinus yang ditanam oleh pemerintah di hutan sekitar perkampungan juga membawa pengaruh kepada masyarakat. Masyarakat mendapatkan penghasilan tambahan dengan mengambil getah pinus dan menjualnya pada Perhutani. Selain itu, pengaruh pasar dunia (kapitalisasi dan globalisasi) yang telah menyentuh masyarakat di sana juga menjadi salah satu faktor penyebab. Tanaman vanili aja misalnya, menurut masyarakat di sana, pada saat harga vanili lagi mahal-mahalnya (sekitar tahun 2000-2002), banyak dari masyarakat yang menanam vanili. Namun ketika harga vanili jatuh, masyarakat tidak lagi mempedulikan tanaman vanili tersebut. Begitupun dengan dinamika internal dalam masyarakat itu sendiri, seperti bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini memperlihatkan adanya proses transformasi yang terjadi di sektor pertanian di Petungkriyono.
Dalam melihat transfomasi pertanian di pedesaan Jawa ini, kita harus membedakan antara masyarakat Jawa pegunungan(3) dengan masyarakat Jawa di dataran rendah. Perbedaan ini disebabkan petani pegunungan merespons desakan komersial dan demogafi secara amat berbeda dengan petani di dataran rendah (Lihat Hefner 1999). Hefner (1999: 379-380) dalam penelitiannya di daerah pegunungan Jawa menjelaskan bahwa meskipun sangat dipengaruhi oleh berbagai hal yang terjadi di sekitarnya, masyarakat dataran tinggi berbeda dengan gambaran masyarakat pertanian di dataran rendah. Tatanan sosial tidak dikelaskan ke dalam kelompok-kelompok sosial. Kepemilikan tanah didasarkan pada kepemilikan individu dan hak waris tanah, bukan kepemilikan komunal. Kebanyakan tanah pertanian digarap oleh pemiliknya sendiri. Pola patron-klien yang sangat umum di pertanian sawah Asia Tenggara secara jelas juga tidak dikenal pada masyarakat pegunungan. Dinamika interaksi di dataran tinggi ditentukan oleh para petani menegah yang bebas. Orang gunung bergantung pada tanahnya sendiri, bukan “jaminan subsistensi” dari patron yang membawahinya (Scott 1976:5), untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. (Hefner 1999:4).
Perbedaan antara masyarakat dataran rendah dan dataran tinggi ini juga menyebabkan telah tejadinya perbedaan perlakuan dari pihak-pihak luar, terutama penguasa. Menurut Li, daerah pegunungan (dan juga masyarakat pedalaman) Indonesia, telah terbentuk sebagai wilayah yang tersisih melalui perjalanan sejarah keterlibatan politik, ekonomi, dan sosial dengan daerah dataran rendah, yang sudah lama dan masih terus berlangsung. Ketersisihan ini pada akhirnya menyebabkan masyarakat pegunungan dan masyarakat pedalaman, identik dengan masyarakat yang terisolir. Padahal menurut Colombijn (yang dikutip oleh Li dalam Anthony Reid 1988), pusat-pusat konsentrasi penduduk Indonesia pada masa prakolonial bukanlah di daerah pesisir, melainkan di daerah pedalam, dan khususnya di lembah-lembah dan dataran tinggi pegunungan. Pemusatan ini didasarkan atas alasan ekonomi dan politik (Li, 2002:11). Bahkan Semedi (2006: 129) menjelaskan kalau pelabelan sebuah daerah sebagai daerah terisolir adalah mitos belaka. Sebuah mitos yang dibuat oleh penguasa, masyarakat, dan para ahli atau akademisi.
Salah satu bentuk mitos ini dapat dilihat pada penetapan hutan sebagai kawasan hutan lindung. Dalam melihat hutan lindung ini, Li menjelaskan bahwa karena hutan di Jawa hanya memberikan “bagian yang sangat kecil dari pendapatan nasional yang berasal dari hutan (4)” (Barber 1989: 124), maka tujuan utama dari kegiatan pemerintah “mengelola hutan” di Jawa adalah mengontrol penduduk yang tinggal di daerah pedalaman ini, dan bukan untuk mencari pemasukan uang atau keuntungan. Pentingnya hutan bagi proses perluasan kontrol negara terhadap daerah pedalaman berlangsung tidak hanya sekedar menyangkut masalah pohon-pohonnya. Di pulau jawa menurut Li (mengutip Barber 1989) 50% dari jumlah penduduk tidak memiliki lahan, namun 23% dari luas lahan seluruhnya diklasifikasikan sebagai hutan negara, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan pertanian dan penggunaan lainnya, dan di dalam kawasan hutan negara ini, yang tersisa hanyalah bekas-bekas hutan alam, dan tumbuhan jati dan pinus yang sangat tidak produktif. Padahal di perbatasan “hutan” ini terdapat enam ribu desa, yang dihuni 30 juta jiwa, yang sebagian besar di antaranya mendapatkan penghasilan dari hutan (Li 2002: 26-28).
Di daerah Petungkriyono, mitos-mitos ini tergambar dengan pelabelan daerah ini sebagai daerah terisolir ke dua di Jawa Tengah sesudah daerah kepulauan seribu oleh pemerintah (Semedi 2006: 128). Kemudian mitos-mitos ini berlanjut dengan penetapan daerah Petingkriyono sebagai daerah Eko Wisata atau wisata alam oleh pemerintah Kabupaten Pekalongan. Pemerintah juga menyediakan sebuah tempat bagi masyarakat yang ingin berwisata dengan melihat kawasan hutan yang asri dan lengkap dengan fasilitas kempingnya yang disebutnya dengan camping ground. Namun, walaupun berada dalam kondisi yang “terisolasi”, Petungkriyono bukanlah daerah yang benar-benar terisolasi. Berbagai intervensi dengan kepentingan masing-masing ternyata telah sampai menyentuh kehidupan masyarakat.
Kehidupan Petani Sawangan: Antara Moral dan Rasional
Pak Daliri adalah salah seorang informan saya waktu berada di Sawangan. Dia adalah menantu dari mbah Bahu, kepala dukuh Sawangan. Pada awalnya dia tinggal besama mertuanya, namun sekarang dia sudah membangun sebuah rumah di sebuah tanah milik mertuannya yang berada di belakang rumah mertuanya. Dia tinggal bersama istri dan tiga oang anaknya. Anak tertuanya sudah menikah dan mempunyai seorang anak dan tinggal bersama mereka. Menurut pak Daliri, mayoritas penduduk sini pekerjaannya adalah bertani. Pertanian di sini adalah pertanian lahan basah dan lahan kering. Lahan basah di tanami dengan padi, sementara lahan kering yaitu : Aren, Kopi, cengkeh, ubi kayu, rumput gajah, pocung, nangka, kelapa, pisang, pepaya, jengkol, durian, bambu, petai, vanili, tomat, dan lainnya. Tumbuhan ini tidak semuanya mereka tanam, tapi ada juga yang tumbuh dengan sendirinya. Tumbuhan yang di tanam adalah : kopi, cengkeh, ubi kayu, rumput gajah, vanili, tomat, cabe, pisang, sementara yang lain seperti : Aren, Pocung, Nangka, Durian, Kelapa, bambu, Jengkol, Petai, itu tumbuh dengan sendirinya. Pak Daliri sendiri mempunyai sawah, kopi di hutan, Aren, dan tumbuh-tumbuhan lainnya seperti nangka, jengkol, petai, dan sapi. Untuk memenuhi makanan sapinya, dia juga menanam rumput gajah di lahan kering di sekitar pemukiman.
Kopi lebih banyak di tanam di hutan. Karena cuaca di hutan lebih cocok dengan kopi dibandingkan jika menanam kopi di seikitar daerah pemukiman. Kelembaban suhu dan hutan yang rimbun menyebabkan buah kopi lebih banyak dan lebih besar dibandingkan dengan cuaca di sekiar pemukiman yang panas yang menyebabkan buah tumbuh tidak banyak. Rata-rata di tanam sebanyak 1000 sampai 2000 batang perhektar/area. Waktu menanam kopi, mereka hanya membersihkan hutan dari semak belukar yang ada. Mereka tidak menebang pohon-pohon yang ada di hutan untuk di buka areal kopi, namun mereka menanam kopi ini di sela-sela pohon besar tersebut. Hal ini disebabkan karena menurut pak Daliri, hutan tersebut adalah hutan miliki Perhutani (pemerintah) dan masyarakat dilarang untuk menebang kayu di hutan tersebut. Selain kopi, mereka juga mengambil kayu bakar, bambu, dan rumput gajah di hutan. Selain itu, mereka juga ke hutan untuk mengambil tanaman mereka yang sudah bisa panen seperti; nangka, kelapa, durian, jengkol, petai, pocung dan aren.
Daerah di sekitar hutan juga mereka tanami dengan berbagai tumbuhan tersebut. terutama pisang, ubi kayu, pepaya, cabe rawit dan tomat. Hasil dari tumbuhan ini digunakan untuk keperluan dapur mereka sehari-hari. Selain itu mereka juga menanam rumput gajah. Penanaman ruput gajah ini disebabkan karena rumput gajah adalah makanan utama dari sapi mereka. Banyaknya masyarakat yang memelihara sapi, menyebabkan ketersediaan rumput gajah di hutan semakin berkurang, sehingga mereka menanam rumput gajah ini untuk lebih memudahkan mereka mengambil ruput gajah dan menjamin ketersediaan makanan bagi sapi mereka.
Ketika musim kemarau, air yang mengairi sungai mereka menjadi kecil. Sawah-sawah mereka juga menjadi kering. Dulunya, pada musin kemarau ini, sawah mereka yang kering ditanami dengan jagung. Namun sekarang ketika musim kemarau datang, mereka tidak lagi menanam jagung, namun hanya membiarkan sawah tersebut. Menurutnya, hal ini disebabkan karena banyak dari mereka yang merasa malas untuk menanam jagung, sebab jagung memerlukan pemeliharaan yang membutuhkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan padi. Lagipula di Sawangan tidak ada mesin penggolahan jagung. Masyarakat dulunya juga pernah menanam vanila di sini. Pada saat itu sekitar tahun 2000an, harga vanila sangat tinggi di pasaran, yaitu sekitar 200 ribu sampai 600 ribu rupiah. Banyak dari masyarakat yang kemudian menanam vanili di hutan-hutan dekat perkampungan mereka. Namun masyarakat tidak banyak yang bisa menikmati harga yang tinggi ini. Harga yang cukup tinggi ini tidak bertahan lama di pasaran. Ketika banyak pohon vanili masyarakat yang sudah berbuah dan dipanen, harga vanili jatuh drastis sampai lima ribu rupiah. Sekarang tanaman ini tidak lagi ditanam oleh masyarakat, dan kalaupun ada, pohonnya dibiarkan saja tanpa dioleh.
Kasus cengkeh juga hampir sama dengan vanili ini. Ketika cengkeh lagi mahal, banyak masyarakat yang kemudian menanam cengkeh. Semua ini menurut pak Daliri harus dilakukan oleh masyarakat. Sebab kehidupan sekarang tidak sama dengan waktu dulu. Semua kebutuhan hidup semakin meningkat. Hampir semua orang sekarang sudah mempunyai televisi. Bahkan ada beberapa orang di sini yang sudah mempunyai motor dan rumahnya dilantai dengan marmer. Selain kebutuhan untuk membeli barang-barang tersebut, kami juga membutuhkan uang untuk sekolah anak. Karena itu orang-orang sudah mulai mencari dan mengumpulkan uang agar bisa membeli semua kebutuhan tersebut. Kalau hanya bersandarkan kepada hasil panen padi, kami tidak akan bisa membeli semua kebutuhan tersebut. Padi hanya menjamin kebutuhan untuk makan. Karena lahan yang kami punyai hanyalah lahan untuk padi, maka kami perlu memelihara sapi agar bisa mencukupi kebutuhan lainnya. Masyarakat tidak bisa membuka lahan baru karena hutan di sana adalah milik Perhutani. Namun kami diperbolehkan untuk menanam kopi asal tidak menebang pohon-pohon yang ada di sana.Karena itu banyak warga sini yang kemudian membersihakan hutan agar bisa menanan kopi.
Mengikuti logika kaum ekonomi moral, beberapa bagian dari aktivitas pertanian di atas mengambarkan sistem pertanian yang berlandaskan ekonomi moral. Ini merujuk apa yang disampaikan oleh Scott (1982: 23-28), bahwa kehidupan ekonomi petani hanyalah sedikit di atas garis subsistensi mereka. Kondisi serba miskin ini akan memunculkan etika subsistensi, dimana tata ekonomi petani diikat oleh sistem moral, agar beban kerja dan rejeki terbagi secara merata sehingga tidak ada satu warga desapun yang sampai mengalami kelaparan. Ini berarti bahwa perilaku ekonomi masyarakat petani dilangsungkan berdasarkan prinsip safety first atau dahulukan selamat. Inovasi yang terjadi dalam masyarakat hanya terjadi apabila keamanan subsistensi sudah terjaga dan ia yakin benar bahwa investasi tadi akan mendatangkan hasil, dan ketika mereka merasa etika subsistensi mereka mendapatkan ancaman.
Masyarakat dalam pandangan kaum moralis ini adalah sebuah masyarakat yang harmonis, yang memberikan jaminan sosial bagi kelangsungan hidup warganya. Pada masyarakat di Sawangan, mereka bersandarkan kepada sawah sebagai pemenuhan kebutuhan meraka. Tidak ada tanaman lain yang mereka coba tanam sebagai tanaman lain penganti padi. Kasus Jagung misalnya, walaupun kondisi tanah mereka lebih cocok ditanami jagung karena kondisi kemarau yang melanda mereka, namun mereka tidak mencoba untuk menanam jagung. Mereka merasa takut dengan resiko yang akan mereka dapatkan kalau mereka menanam jagung. Cara lain yang dia lakukan adalah dengan menanam tanaman-tanaman yang harganya lagi mahal di pasaran. Ketika harga vanila lagi melambung tinggi dia juga menanam vanila. Pola-pola seperti ini diikuti oleh hampir semua warga masyarakat. Mereka menanam vanila ini di hutan-hutan sekitar tempat tinggal mereka. Begitupun saat harga cengkeh sedang tinggi, mereka pun banyak yang menanam cengkeh. Namun ketika pasar sudah tidak lagi menawarkan harga yang tinggi, maka tanaman-tanaman ini kemudian ditinggalkan. Sekarang kopi adalah komoditas utama mereka, selain tanaman-tanaman keras yang sudah tumbuh lama seperti nangka, pocung, dan duren. Semua aktivitas ini dilakukan karena sawah telah memberikan jaminan hidup bagi mereka.
Namun realita ini menjadi berbeda menurut cara pandang para kaum rasionalis. Popkin (1979) sebagai seorang tokoh “rasionalis”, mempunyai pemikiran bahwa ketika petani sudah melibatkan diri dalam ekonomi pasar, menanam komoditi, atau menjual tenaga ke pasar, hal ini disebabkan bukan karena mereka merasa etika subsistensi mereka terancam, melainkan karena mereka melihat bahwa pasar menawarkan peluang kehidupan yang lebih baik daripada yang ada di desa. Dalam kondisi sosial ekonomi di dalam desa yang demikian payah, maka tanpa disuruhpun ketika ekonomi pasar merembes ke pedesaan kaum peasant akan berbondong-bondong mengalir kesana. Desa-desa petani menurut Popkin sama sekali jauh dari kondisi harmonis dan penuh dengan ekploitasi. Bukannya diikat oleh moralitas kolektif, petani adalah manusia individual yang kepalanya penuh perhitungan untung rugi untuk kepentingan dirinya. Sebagai akibarnya, petani tidak mau sembarangan melibatkan diri dalam aktivitas kolektif bila secara subjektif dia tidak mendapatkan hasil (Sairin dkk 2002: 230).
Saya lebih melihat kondisi yang dialami oleh masyarakat di Sawangan ini sebagai sebuah bentuk petani dalam kondisi perubahan. Transformasi yang telah terjadi di bidang pertanian, selain menyebabkan terjadinya perubahan di berbagai aspek pertanian, juga pada aspek ekonomi dan sosial masyarakat. Pola moral yang terdapat pada masyakat sebelumnya juga telah berubah menjadi petani rasional seperti yang dijelaskan oleh Popkin. Kenalnya masyarakat dengan ekonomi pasar bukanlah seperti yang dijelaskan oleh kaum moralis, namun karena pasar lebih menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Mereka jadi lebih paham dengan tanaman-tanaman yang bisa menghasilkan uang lebih. Ini mempengaruhi mereka dalam memilih jenis tanaman yang akan mereka tanam. Kehidupan mereka yang berada dalam keadaan “terisolir” tidak membuat mereka menjadi “terisolir” juga dengan pengaruh globalisasi. Standar kedidupan lebih berdasarkan kepada kehidupan modern, yaitu memiliki televisi, vcd Player, bukan lagi rumah dari kayu, dilantai dengan marmer, punya sepeda motor, dan bersekolah. Parameter kehidupan bukan lagi berlandaskan kepada kebudayaan mereka, tetapi juga kepada kebudayaan luar atau pasar. Desa, dengan demikian tidak lagi berdiri sendiri, tapi telah ditarik oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar, sesuai dengan kepentingannya. Kehidupan menjadi lebih rasional. Tindakan-tindakan dilandasi oleh rasionalisasi mereka terhadap kehidupan. Pemilihan terhadap jenis tanaman, ataupun bagaimana mereka menyiasati kekurangan lahannya dengan memanfaatkan hutan
Transformasi Pertanian: Tarik Ulur Masyarakat Desa dengan Pihak Luar
Proses perubahan yang terjadi bukan hanya pada masalah material pertanian saja, akan tetapi juga pada masalah moral. Dampaknya menurut Hefner (1999: 1-2) terasa tidak hanya pada fakta lugas berupa pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi dan otoritas. Perubahan yang terjadi ini tidak dapat dipungkiri karena disebabkan oleh pertumbuhan kapitalisme industri di dunia. dalam kondisi globalisasi sekarang ini, dapat dikatakan tidak ada lagi masyarakat yang bebas dari pengaruh ekonomi global (pasar), sehingga masyarakat yang semula hidup berpedoman pada nilai-nilai norma dan budayanya, kemudian harus masuk ke dalam bagian kelompok daerah, negara, maupun ekonomi dunia, dan mereka menjadi bagian di dalamnya (5). Fenomena ini juga di dukung oleh argumennya Castell (2000) bahwa individu sudah terintegasi dengan jaringan global. Akibatnya cara pikir orang juga mengalami perubahan. Santoso (2006: 12) menambahkan bahwa masyarakat lokal dengan strukturnya kebutuhan yang stabil pada akhirnya harus bernegoisasi dengan dunia di mana identitas dan selera senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan produksi dan status.
Semuanya ini menyebabkan terjadinya pe-redefinisian dan re-orientasi serta re-negoisasi yang tidak hanya terkait dengan aspek produksi, tetapi juga konsumsi dan nilai-nilai budaya masyarakat. Kecenderungan baru ini yang lebih bernuansa mekanis dan rasional, disadari atau tidak, kini tengah merekonstruksi kerangka dasar dan corak kehidupan pada masyarakat pedesaan (lihat Santoso 2006: 12). Perubahan-perubahan pada masyarakat Sawangan ini terjadi sedemikian rupa sehingga menimbulkan konsekuensi-konsekuensi baru dalam segenap kehidupan, termasuk bagaimana mereka mendefinisikan dan menegosiasikan tindakan-tindakan tertentu yang terjadi di masa lalu. Orang kini lebih suka menanam tanaman yang berorientasi kepada pasar, atau mensiasati hutan-hutan disekitar mereka dengan menanaminya dengan tumbuhan-tumbuhan yang memiliki komoditi lebih. Kehidupan sosial mereka dulu yang lebih sederhana, berganti dengan kehidupan individual dan rasional.
Keterpinggiran dan kemiskinan yang dihadapi oleh orang Sawangan ini merupakan sebuah konsekuensi dengan masuknya pengaruh dari dunia luar. Mereka dengan gampangnya membandingkan dirinya dengan masyarakat desa Jawa lain yang lebih maju. Aspirasi-aspirasi baru dari masyarakat ini merupakan salah satu konsekuensi yang harus diterima dari perubahan dan pergeseran. Namun Hefner (1999) menyatakan perubahan dan pergeseran pada segenap sendi kehidupan masyarakat pedesaan, tidak bisa disederhanakan hanya dengan dua aspek ekonomi moral dan rasional ini. Ada aspek-aspek lain, kekuataan-kekuatan tertentu yang terkadang tidak secara langsung muncul ke permukaan, tetapi memberikan andil besar bagi perubahan dan pergeseran tersebut. Ketika masyarakat Sawangan mulai senang mengumpulkan uang untuk membeli televisi, vcd, dan sepeda motor, kita tidak bisa mengatakan bahwa mereka sedang memasuki peradaban modern yang rasional, tapi kita juga tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa mereka tertarik oleh bujuk rayu promosi iklan di berbagai media.
Namun kita tidak bisa menyederhanakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat petani di Sawangan ini terjadi semata-mata karena proses rasionalisasi individu-individu terhadap impian-impian kesejahteraan yang didasarkan kepada modernisasi. Tapi kita juga harus membuka mata terhadap kekuatan pasar dan intervensi yang dilakukan oleh pemerintah. Seperti yang disampaikan oleh Li (2002), bagi sebagian besar masyarakat di daerah pegunungan dan pedalaman, perubahan adalah keniscayaan, dan tidak dibebankan secara sepihak sebagai akibat dari penetrasi nilai-nilai dari luar, sebaliknya, perubahan merupakan akibat dari kreatif dalam suatu interaksi sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Masyarakat di Sawangan, walaupun sudah terintegrasi dengan jaringan global, dan juga telah mengalami perubahan dalam cara berfikir, mereka tidak akan dengan mudah menerima apapun yang datang dari luar tersebut dengan mudahnya. Mereka tetap mempunyai kebebasan dalam memilih. Sesuai dengan yang dipaparkan oleh Appadurai, suatu produk, entah itu barang atau informasi, ketika sudah dilepas dari proses produksinya, maka produk tersebut akan lepas relasinya dengan produksi dan mempunyai nilai sosial termasuk juga di dalamnya nilai politik. Masyarakat di Sawangan bebas menginterpretasikan produk-produk dari luar tersebut sesuai dengan kulturalnya. Semakin menguntungkan sesuatu yang mereka lihat dan mereka dengar, semakin cepat masyarakat mengadopsinya. Sebaliknya, semakin kecil keuntungan yang bisa diperoleh dari sana, semakin kecil pula peluang masyarakat menerimanya.
Catatan:
(1) Lihat Scott dalam bukunya Ekonomi Moral Petani (1981)
(2) Dari laporan penelitan lapangan Keluarga Mahasiswa Antropologi Universitas Gadjah Mada (1986), menjelaskan bahwa kecamatan Petungkriyono ini merupakan daerah penghasil selong terbesar untuk daerah Jawa Tengah. Selong ini lebih banyak ditanam di dukuh Rowo, Si Petung, Ndranan, dan Karang Gondang, sementara untuk Dukuh Sawangan, tidak ada masyarakat yang menanam selong. Menurut mereka ini lebih disebabkan karena keterbatasan lahan yang mereka punyai, karena itu lahan lebih diprioritaskan untuk tanaman pangan, seperti padi
(3) Dataran tinggi ini menurut Li (yang mengutip Allen dan Allen yang juga mengutip Spencer) sama dengan uplands, yang didefinisikan sebagai ‘daerah yang berbukit hingga bergunung dengan permukaan daratan yang cenderung terjal, yang berada di tempat yang tinggi’. Dalam defenisi ini juga dapat juga ditambahkan bahwa daerah ini umumnya tidak mendapatkan irigasi, tidak langsung berbatasan dengan pesisir, dan juga tidak mengalami banjir musiman (2002: xviii). Gambaran Li ini menurut saya cocok untuk menyatakan bahwa daerah Petungkriyono termasuk dalam kategori daerah pegunungan. Hefner (1999) juga menyebut orang gunung dengan “wong gunung” (uplanders) yang dipertentangkan dengan “wong ngare” (lowlanders) atau orang dataran rendah
(4) Kecil, dalam hal ini menurut jika dibandingkan dengan keuntungan yang diberikan oleh hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua
(5) Banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang menyimpulkan gejala seperti ini. Diantaranya lihat misalnya Roseberry (1989), Hayami dan Kikuchi (1987: 10-14), dan Santoso (2006:18)
Pendahuluan : Mitos Daerah Pegunungan dan Perubahan
Ketika mendengar akan pergi ke daerah Petungkriyono, saya membayangkan disana akan menemukan sekelompok masyarakat yang masih sederhana dan bersahaja, jujur, tidak memperlakukan uang seperti bagaimana orang kota, masyarakat tanpa stratifikasi sosial yang ketat, petani dengan pola subsistensi dan ekonomi moral seperti yang dibayangkan oleh James Scott(1). Gambaran sebuah desa yang terisolir, dan bebas dari arus globalisasi. Imajinasi ini dibentuk oleh informasi-infomasi mengenai Petungkriyono yang saya dapatkan sebelumnya, baik cerita orang-orang maupun dari buku-buku yang bercerita tentang petungkriyono dan daerah pedalaman di Jawa. Mereka pada umumnya mengambarkan Petungkriyono sebagai sebuah desa yang terisolir, di tengah hutan belantara, dan berada di pegunungan. Untuk bisa menuju ke sana kita harus melalui hutan dan jalan yang menanjak. Namun ketika saya sudah berada di sana, imajinasi tentang Petungkriyono seperti gambaran di atas, mulai berubah. Memang, masyarakat di sana dalam kacamata saya adalah masyarakat yang bersahabat, bersahaja (dibandingkan dengan masyarakat kota tempat saya biasanya berada), namun masyarakat ini bukanlah masyarakat yang terisolir. Sarana transportasi umum sudah ada di sana dan saya juga menemukan masyarakat yang sudah mempunyai televisi (bahkan ada yang lengkap dengan parabolanya), vcd player, sepeda motor, dan rumah-rumah yang lantainya dilapisi dengan marmer. Di sana juga terlihat Helleur, sebuah teknologi untuk menggiling padi menjadi beras. “di sini sudah berubah”, itulah ungkapan dari salah seorang penduduk desa.
Sekilas gambaran mengenai masyarakat Petungkriyono ini, telah menuntun saya untuk menyimpulkan bahwa masyarakat di sana telah dan sedang mengalami transformasi. Sebagai daerah yang menyandarkan kehidupannya pada sektor pertanian, tansformasi juga terjadi di bidang pertanian. Proses transformasi pertanian pada dasarnya merupakan sebuah proses pembangunan pertanian, yaitu suatu proses perubahan pada berbagai aspek di bidang pertanian. Perubahan tersebut tidak hanya berupa mekanisasi dan teknologi namun lebih jauh lagi pada ekonomi dan kehidupan sosial mayarakatnya, seperti masalah perubahan identitas, otoritas, dan budaya masyarakat itu sendiri. Dengan demikian proses transformasi pertanian dapat dikatakan sebagai proses transformasi pedesaan.
Masyarakat Petungkiyono adalah masyarakat yang agraris. Untuk kebutuhan pangan, masyarakat menanam padi di sawah dengan memanfaatkan sungai-sungai yang ada di daerah tersebut sebagai pengairan. Tanaman pangan lainnya adalah jagung, ubi kayu, dan sayuran. Sementara itu, komoditi yang dihasilkan oleh masyarakatnya di sana adalah kopi, gula aren, cengkeh, vanili dan bawang daun (selong)(2) . Kopi, cengkeh, dan vanili, tidak mereka tanam dalam bentuk tegalan atau kebun, namun mereka menanamnya di hutan-hutan yang ada disekitar pemukiman mereka, sementara bawang daun (selong) ditanam dalam bentuk tegalan. Untuk Aren, mereka tidak menanamnya, karena aren ini tumbuh dengan sendirinya di hutan-hutan dan lahan milik mereka. Mereka juga memiliki hewan ternak seperti sapi dan ayam.
Keanekaragaman tanaman pangan dan tanaman komoditi ini jelas tidak tumbuh dengan sendirinya di dalam masyarakat. Mereka mulai menanamnya seiring dengan perubahan yang terjadi dalam diri mereka. Perubahan ini bisa disebabkan oleh adanya intervensi dari pemerintah, seperti progam “Revolusi Hijau”, dimana pemerintah mengenalkan bibit unggul kepada masyarakat dengan berbagai macam progamnya, seperti keberadaan BIMAS dengan para penyuluh pertanian yang membantu petani dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan baru dan pengenalan teknologi-teknologi pertanian, maupun kredit-kredit murah yang diberikan kepada petani untuk dapat meningkatkan usaha taninya. Dinamika politik yang terjadi, baik di tingkat lokal maupun nasional juga membawa perubahan kepada masyarakat (lihat Hefner 1999 dan Husken 1998). Begitupun dengan proyek-proyek pembangunan pemerintah, seperti pembangunan jalan-jalan yang telah memudahkan akses orang-orang luar masuk ke dalam desa, maupun penetapan kawasan hutan di daerah Petungkriyono sebagai kawasan hutan lindung. Keberadaan pohon pinus yang ditanam oleh pemerintah di hutan sekitar perkampungan juga membawa pengaruh kepada masyarakat. Masyarakat mendapatkan penghasilan tambahan dengan mengambil getah pinus dan menjualnya pada Perhutani. Selain itu, pengaruh pasar dunia (kapitalisasi dan globalisasi) yang telah menyentuh masyarakat di sana juga menjadi salah satu faktor penyebab. Tanaman vanili aja misalnya, menurut masyarakat di sana, pada saat harga vanili lagi mahal-mahalnya (sekitar tahun 2000-2002), banyak dari masyarakat yang menanam vanili. Namun ketika harga vanili jatuh, masyarakat tidak lagi mempedulikan tanaman vanili tersebut. Begitupun dengan dinamika internal dalam masyarakat itu sendiri, seperti bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini memperlihatkan adanya proses transformasi yang terjadi di sektor pertanian di Petungkriyono.
Dalam melihat transfomasi pertanian di pedesaan Jawa ini, kita harus membedakan antara masyarakat Jawa pegunungan(3) dengan masyarakat Jawa di dataran rendah. Perbedaan ini disebabkan petani pegunungan merespons desakan komersial dan demogafi secara amat berbeda dengan petani di dataran rendah (Lihat Hefner 1999). Hefner (1999: 379-380) dalam penelitiannya di daerah pegunungan Jawa menjelaskan bahwa meskipun sangat dipengaruhi oleh berbagai hal yang terjadi di sekitarnya, masyarakat dataran tinggi berbeda dengan gambaran masyarakat pertanian di dataran rendah. Tatanan sosial tidak dikelaskan ke dalam kelompok-kelompok sosial. Kepemilikan tanah didasarkan pada kepemilikan individu dan hak waris tanah, bukan kepemilikan komunal. Kebanyakan tanah pertanian digarap oleh pemiliknya sendiri. Pola patron-klien yang sangat umum di pertanian sawah Asia Tenggara secara jelas juga tidak dikenal pada masyarakat pegunungan. Dinamika interaksi di dataran tinggi ditentukan oleh para petani menegah yang bebas. Orang gunung bergantung pada tanahnya sendiri, bukan “jaminan subsistensi” dari patron yang membawahinya (Scott 1976:5), untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. (Hefner 1999:4).
Perbedaan antara masyarakat dataran rendah dan dataran tinggi ini juga menyebabkan telah tejadinya perbedaan perlakuan dari pihak-pihak luar, terutama penguasa. Menurut Li, daerah pegunungan (dan juga masyarakat pedalaman) Indonesia, telah terbentuk sebagai wilayah yang tersisih melalui perjalanan sejarah keterlibatan politik, ekonomi, dan sosial dengan daerah dataran rendah, yang sudah lama dan masih terus berlangsung. Ketersisihan ini pada akhirnya menyebabkan masyarakat pegunungan dan masyarakat pedalaman, identik dengan masyarakat yang terisolir. Padahal menurut Colombijn (yang dikutip oleh Li dalam Anthony Reid 1988), pusat-pusat konsentrasi penduduk Indonesia pada masa prakolonial bukanlah di daerah pesisir, melainkan di daerah pedalam, dan khususnya di lembah-lembah dan dataran tinggi pegunungan. Pemusatan ini didasarkan atas alasan ekonomi dan politik (Li, 2002:11). Bahkan Semedi (2006: 129) menjelaskan kalau pelabelan sebuah daerah sebagai daerah terisolir adalah mitos belaka. Sebuah mitos yang dibuat oleh penguasa, masyarakat, dan para ahli atau akademisi.
Salah satu bentuk mitos ini dapat dilihat pada penetapan hutan sebagai kawasan hutan lindung. Dalam melihat hutan lindung ini, Li menjelaskan bahwa karena hutan di Jawa hanya memberikan “bagian yang sangat kecil dari pendapatan nasional yang berasal dari hutan (4)” (Barber 1989: 124), maka tujuan utama dari kegiatan pemerintah “mengelola hutan” di Jawa adalah mengontrol penduduk yang tinggal di daerah pedalaman ini, dan bukan untuk mencari pemasukan uang atau keuntungan. Pentingnya hutan bagi proses perluasan kontrol negara terhadap daerah pedalaman berlangsung tidak hanya sekedar menyangkut masalah pohon-pohonnya. Di pulau jawa menurut Li (mengutip Barber 1989) 50% dari jumlah penduduk tidak memiliki lahan, namun 23% dari luas lahan seluruhnya diklasifikasikan sebagai hutan negara, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan pertanian dan penggunaan lainnya, dan di dalam kawasan hutan negara ini, yang tersisa hanyalah bekas-bekas hutan alam, dan tumbuhan jati dan pinus yang sangat tidak produktif. Padahal di perbatasan “hutan” ini terdapat enam ribu desa, yang dihuni 30 juta jiwa, yang sebagian besar di antaranya mendapatkan penghasilan dari hutan (Li 2002: 26-28).
Di daerah Petungkriyono, mitos-mitos ini tergambar dengan pelabelan daerah ini sebagai daerah terisolir ke dua di Jawa Tengah sesudah daerah kepulauan seribu oleh pemerintah (Semedi 2006: 128). Kemudian mitos-mitos ini berlanjut dengan penetapan daerah Petingkriyono sebagai daerah Eko Wisata atau wisata alam oleh pemerintah Kabupaten Pekalongan. Pemerintah juga menyediakan sebuah tempat bagi masyarakat yang ingin berwisata dengan melihat kawasan hutan yang asri dan lengkap dengan fasilitas kempingnya yang disebutnya dengan camping ground. Namun, walaupun berada dalam kondisi yang “terisolasi”, Petungkriyono bukanlah daerah yang benar-benar terisolasi. Berbagai intervensi dengan kepentingan masing-masing ternyata telah sampai menyentuh kehidupan masyarakat.
Kehidupan Petani Sawangan: Antara Moral dan Rasional
Pak Daliri adalah salah seorang informan saya waktu berada di Sawangan. Dia adalah menantu dari mbah Bahu, kepala dukuh Sawangan. Pada awalnya dia tinggal besama mertuanya, namun sekarang dia sudah membangun sebuah rumah di sebuah tanah milik mertuannya yang berada di belakang rumah mertuanya. Dia tinggal bersama istri dan tiga oang anaknya. Anak tertuanya sudah menikah dan mempunyai seorang anak dan tinggal bersama mereka. Menurut pak Daliri, mayoritas penduduk sini pekerjaannya adalah bertani. Pertanian di sini adalah pertanian lahan basah dan lahan kering. Lahan basah di tanami dengan padi, sementara lahan kering yaitu : Aren, Kopi, cengkeh, ubi kayu, rumput gajah, pocung, nangka, kelapa, pisang, pepaya, jengkol, durian, bambu, petai, vanili, tomat, dan lainnya. Tumbuhan ini tidak semuanya mereka tanam, tapi ada juga yang tumbuh dengan sendirinya. Tumbuhan yang di tanam adalah : kopi, cengkeh, ubi kayu, rumput gajah, vanili, tomat, cabe, pisang, sementara yang lain seperti : Aren, Pocung, Nangka, Durian, Kelapa, bambu, Jengkol, Petai, itu tumbuh dengan sendirinya. Pak Daliri sendiri mempunyai sawah, kopi di hutan, Aren, dan tumbuh-tumbuhan lainnya seperti nangka, jengkol, petai, dan sapi. Untuk memenuhi makanan sapinya, dia juga menanam rumput gajah di lahan kering di sekitar pemukiman.
Kopi lebih banyak di tanam di hutan. Karena cuaca di hutan lebih cocok dengan kopi dibandingkan jika menanam kopi di seikitar daerah pemukiman. Kelembaban suhu dan hutan yang rimbun menyebabkan buah kopi lebih banyak dan lebih besar dibandingkan dengan cuaca di sekiar pemukiman yang panas yang menyebabkan buah tumbuh tidak banyak. Rata-rata di tanam sebanyak 1000 sampai 2000 batang perhektar/area. Waktu menanam kopi, mereka hanya membersihkan hutan dari semak belukar yang ada. Mereka tidak menebang pohon-pohon yang ada di hutan untuk di buka areal kopi, namun mereka menanam kopi ini di sela-sela pohon besar tersebut. Hal ini disebabkan karena menurut pak Daliri, hutan tersebut adalah hutan miliki Perhutani (pemerintah) dan masyarakat dilarang untuk menebang kayu di hutan tersebut. Selain kopi, mereka juga mengambil kayu bakar, bambu, dan rumput gajah di hutan. Selain itu, mereka juga ke hutan untuk mengambil tanaman mereka yang sudah bisa panen seperti; nangka, kelapa, durian, jengkol, petai, pocung dan aren.
Daerah di sekitar hutan juga mereka tanami dengan berbagai tumbuhan tersebut. terutama pisang, ubi kayu, pepaya, cabe rawit dan tomat. Hasil dari tumbuhan ini digunakan untuk keperluan dapur mereka sehari-hari. Selain itu mereka juga menanam rumput gajah. Penanaman ruput gajah ini disebabkan karena rumput gajah adalah makanan utama dari sapi mereka. Banyaknya masyarakat yang memelihara sapi, menyebabkan ketersediaan rumput gajah di hutan semakin berkurang, sehingga mereka menanam rumput gajah ini untuk lebih memudahkan mereka mengambil ruput gajah dan menjamin ketersediaan makanan bagi sapi mereka.
Ketika musim kemarau, air yang mengairi sungai mereka menjadi kecil. Sawah-sawah mereka juga menjadi kering. Dulunya, pada musin kemarau ini, sawah mereka yang kering ditanami dengan jagung. Namun sekarang ketika musim kemarau datang, mereka tidak lagi menanam jagung, namun hanya membiarkan sawah tersebut. Menurutnya, hal ini disebabkan karena banyak dari mereka yang merasa malas untuk menanam jagung, sebab jagung memerlukan pemeliharaan yang membutuhkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan padi. Lagipula di Sawangan tidak ada mesin penggolahan jagung. Masyarakat dulunya juga pernah menanam vanila di sini. Pada saat itu sekitar tahun 2000an, harga vanila sangat tinggi di pasaran, yaitu sekitar 200 ribu sampai 600 ribu rupiah. Banyak dari masyarakat yang kemudian menanam vanili di hutan-hutan dekat perkampungan mereka. Namun masyarakat tidak banyak yang bisa menikmati harga yang tinggi ini. Harga yang cukup tinggi ini tidak bertahan lama di pasaran. Ketika banyak pohon vanili masyarakat yang sudah berbuah dan dipanen, harga vanili jatuh drastis sampai lima ribu rupiah. Sekarang tanaman ini tidak lagi ditanam oleh masyarakat, dan kalaupun ada, pohonnya dibiarkan saja tanpa dioleh.
Kasus cengkeh juga hampir sama dengan vanili ini. Ketika cengkeh lagi mahal, banyak masyarakat yang kemudian menanam cengkeh. Semua ini menurut pak Daliri harus dilakukan oleh masyarakat. Sebab kehidupan sekarang tidak sama dengan waktu dulu. Semua kebutuhan hidup semakin meningkat. Hampir semua orang sekarang sudah mempunyai televisi. Bahkan ada beberapa orang di sini yang sudah mempunyai motor dan rumahnya dilantai dengan marmer. Selain kebutuhan untuk membeli barang-barang tersebut, kami juga membutuhkan uang untuk sekolah anak. Karena itu orang-orang sudah mulai mencari dan mengumpulkan uang agar bisa membeli semua kebutuhan tersebut. Kalau hanya bersandarkan kepada hasil panen padi, kami tidak akan bisa membeli semua kebutuhan tersebut. Padi hanya menjamin kebutuhan untuk makan. Karena lahan yang kami punyai hanyalah lahan untuk padi, maka kami perlu memelihara sapi agar bisa mencukupi kebutuhan lainnya. Masyarakat tidak bisa membuka lahan baru karena hutan di sana adalah milik Perhutani. Namun kami diperbolehkan untuk menanam kopi asal tidak menebang pohon-pohon yang ada di sana.Karena itu banyak warga sini yang kemudian membersihakan hutan agar bisa menanan kopi.
Mengikuti logika kaum ekonomi moral, beberapa bagian dari aktivitas pertanian di atas mengambarkan sistem pertanian yang berlandaskan ekonomi moral. Ini merujuk apa yang disampaikan oleh Scott (1982: 23-28), bahwa kehidupan ekonomi petani hanyalah sedikit di atas garis subsistensi mereka. Kondisi serba miskin ini akan memunculkan etika subsistensi, dimana tata ekonomi petani diikat oleh sistem moral, agar beban kerja dan rejeki terbagi secara merata sehingga tidak ada satu warga desapun yang sampai mengalami kelaparan. Ini berarti bahwa perilaku ekonomi masyarakat petani dilangsungkan berdasarkan prinsip safety first atau dahulukan selamat. Inovasi yang terjadi dalam masyarakat hanya terjadi apabila keamanan subsistensi sudah terjaga dan ia yakin benar bahwa investasi tadi akan mendatangkan hasil, dan ketika mereka merasa etika subsistensi mereka mendapatkan ancaman.
Masyarakat dalam pandangan kaum moralis ini adalah sebuah masyarakat yang harmonis, yang memberikan jaminan sosial bagi kelangsungan hidup warganya. Pada masyarakat di Sawangan, mereka bersandarkan kepada sawah sebagai pemenuhan kebutuhan meraka. Tidak ada tanaman lain yang mereka coba tanam sebagai tanaman lain penganti padi. Kasus Jagung misalnya, walaupun kondisi tanah mereka lebih cocok ditanami jagung karena kondisi kemarau yang melanda mereka, namun mereka tidak mencoba untuk menanam jagung. Mereka merasa takut dengan resiko yang akan mereka dapatkan kalau mereka menanam jagung. Cara lain yang dia lakukan adalah dengan menanam tanaman-tanaman yang harganya lagi mahal di pasaran. Ketika harga vanila lagi melambung tinggi dia juga menanam vanila. Pola-pola seperti ini diikuti oleh hampir semua warga masyarakat. Mereka menanam vanila ini di hutan-hutan sekitar tempat tinggal mereka. Begitupun saat harga cengkeh sedang tinggi, mereka pun banyak yang menanam cengkeh. Namun ketika pasar sudah tidak lagi menawarkan harga yang tinggi, maka tanaman-tanaman ini kemudian ditinggalkan. Sekarang kopi adalah komoditas utama mereka, selain tanaman-tanaman keras yang sudah tumbuh lama seperti nangka, pocung, dan duren. Semua aktivitas ini dilakukan karena sawah telah memberikan jaminan hidup bagi mereka.
Namun realita ini menjadi berbeda menurut cara pandang para kaum rasionalis. Popkin (1979) sebagai seorang tokoh “rasionalis”, mempunyai pemikiran bahwa ketika petani sudah melibatkan diri dalam ekonomi pasar, menanam komoditi, atau menjual tenaga ke pasar, hal ini disebabkan bukan karena mereka merasa etika subsistensi mereka terancam, melainkan karena mereka melihat bahwa pasar menawarkan peluang kehidupan yang lebih baik daripada yang ada di desa. Dalam kondisi sosial ekonomi di dalam desa yang demikian payah, maka tanpa disuruhpun ketika ekonomi pasar merembes ke pedesaan kaum peasant akan berbondong-bondong mengalir kesana. Desa-desa petani menurut Popkin sama sekali jauh dari kondisi harmonis dan penuh dengan ekploitasi. Bukannya diikat oleh moralitas kolektif, petani adalah manusia individual yang kepalanya penuh perhitungan untung rugi untuk kepentingan dirinya. Sebagai akibarnya, petani tidak mau sembarangan melibatkan diri dalam aktivitas kolektif bila secara subjektif dia tidak mendapatkan hasil (Sairin dkk 2002: 230).
Saya lebih melihat kondisi yang dialami oleh masyarakat di Sawangan ini sebagai sebuah bentuk petani dalam kondisi perubahan. Transformasi yang telah terjadi di bidang pertanian, selain menyebabkan terjadinya perubahan di berbagai aspek pertanian, juga pada aspek ekonomi dan sosial masyarakat. Pola moral yang terdapat pada masyakat sebelumnya juga telah berubah menjadi petani rasional seperti yang dijelaskan oleh Popkin. Kenalnya masyarakat dengan ekonomi pasar bukanlah seperti yang dijelaskan oleh kaum moralis, namun karena pasar lebih menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Mereka jadi lebih paham dengan tanaman-tanaman yang bisa menghasilkan uang lebih. Ini mempengaruhi mereka dalam memilih jenis tanaman yang akan mereka tanam. Kehidupan mereka yang berada dalam keadaan “terisolir” tidak membuat mereka menjadi “terisolir” juga dengan pengaruh globalisasi. Standar kedidupan lebih berdasarkan kepada kehidupan modern, yaitu memiliki televisi, vcd Player, bukan lagi rumah dari kayu, dilantai dengan marmer, punya sepeda motor, dan bersekolah. Parameter kehidupan bukan lagi berlandaskan kepada kebudayaan mereka, tetapi juga kepada kebudayaan luar atau pasar. Desa, dengan demikian tidak lagi berdiri sendiri, tapi telah ditarik oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar, sesuai dengan kepentingannya. Kehidupan menjadi lebih rasional. Tindakan-tindakan dilandasi oleh rasionalisasi mereka terhadap kehidupan. Pemilihan terhadap jenis tanaman, ataupun bagaimana mereka menyiasati kekurangan lahannya dengan memanfaatkan hutan
Transformasi Pertanian: Tarik Ulur Masyarakat Desa dengan Pihak Luar
Proses perubahan yang terjadi bukan hanya pada masalah material pertanian saja, akan tetapi juga pada masalah moral. Dampaknya menurut Hefner (1999: 1-2) terasa tidak hanya pada fakta lugas berupa pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi dan otoritas. Perubahan yang terjadi ini tidak dapat dipungkiri karena disebabkan oleh pertumbuhan kapitalisme industri di dunia. dalam kondisi globalisasi sekarang ini, dapat dikatakan tidak ada lagi masyarakat yang bebas dari pengaruh ekonomi global (pasar), sehingga masyarakat yang semula hidup berpedoman pada nilai-nilai norma dan budayanya, kemudian harus masuk ke dalam bagian kelompok daerah, negara, maupun ekonomi dunia, dan mereka menjadi bagian di dalamnya (5). Fenomena ini juga di dukung oleh argumennya Castell (2000) bahwa individu sudah terintegasi dengan jaringan global. Akibatnya cara pikir orang juga mengalami perubahan. Santoso (2006: 12) menambahkan bahwa masyarakat lokal dengan strukturnya kebutuhan yang stabil pada akhirnya harus bernegoisasi dengan dunia di mana identitas dan selera senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan produksi dan status.
Semuanya ini menyebabkan terjadinya pe-redefinisian dan re-orientasi serta re-negoisasi yang tidak hanya terkait dengan aspek produksi, tetapi juga konsumsi dan nilai-nilai budaya masyarakat. Kecenderungan baru ini yang lebih bernuansa mekanis dan rasional, disadari atau tidak, kini tengah merekonstruksi kerangka dasar dan corak kehidupan pada masyarakat pedesaan (lihat Santoso 2006: 12). Perubahan-perubahan pada masyarakat Sawangan ini terjadi sedemikian rupa sehingga menimbulkan konsekuensi-konsekuensi baru dalam segenap kehidupan, termasuk bagaimana mereka mendefinisikan dan menegosiasikan tindakan-tindakan tertentu yang terjadi di masa lalu. Orang kini lebih suka menanam tanaman yang berorientasi kepada pasar, atau mensiasati hutan-hutan disekitar mereka dengan menanaminya dengan tumbuhan-tumbuhan yang memiliki komoditi lebih. Kehidupan sosial mereka dulu yang lebih sederhana, berganti dengan kehidupan individual dan rasional.
Keterpinggiran dan kemiskinan yang dihadapi oleh orang Sawangan ini merupakan sebuah konsekuensi dengan masuknya pengaruh dari dunia luar. Mereka dengan gampangnya membandingkan dirinya dengan masyarakat desa Jawa lain yang lebih maju. Aspirasi-aspirasi baru dari masyarakat ini merupakan salah satu konsekuensi yang harus diterima dari perubahan dan pergeseran. Namun Hefner (1999) menyatakan perubahan dan pergeseran pada segenap sendi kehidupan masyarakat pedesaan, tidak bisa disederhanakan hanya dengan dua aspek ekonomi moral dan rasional ini. Ada aspek-aspek lain, kekuataan-kekuatan tertentu yang terkadang tidak secara langsung muncul ke permukaan, tetapi memberikan andil besar bagi perubahan dan pergeseran tersebut. Ketika masyarakat Sawangan mulai senang mengumpulkan uang untuk membeli televisi, vcd, dan sepeda motor, kita tidak bisa mengatakan bahwa mereka sedang memasuki peradaban modern yang rasional, tapi kita juga tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa mereka tertarik oleh bujuk rayu promosi iklan di berbagai media.
Namun kita tidak bisa menyederhanakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat petani di Sawangan ini terjadi semata-mata karena proses rasionalisasi individu-individu terhadap impian-impian kesejahteraan yang didasarkan kepada modernisasi. Tapi kita juga harus membuka mata terhadap kekuatan pasar dan intervensi yang dilakukan oleh pemerintah. Seperti yang disampaikan oleh Li (2002), bagi sebagian besar masyarakat di daerah pegunungan dan pedalaman, perubahan adalah keniscayaan, dan tidak dibebankan secara sepihak sebagai akibat dari penetrasi nilai-nilai dari luar, sebaliknya, perubahan merupakan akibat dari kreatif dalam suatu interaksi sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Masyarakat di Sawangan, walaupun sudah terintegrasi dengan jaringan global, dan juga telah mengalami perubahan dalam cara berfikir, mereka tidak akan dengan mudah menerima apapun yang datang dari luar tersebut dengan mudahnya. Mereka tetap mempunyai kebebasan dalam memilih. Sesuai dengan yang dipaparkan oleh Appadurai, suatu produk, entah itu barang atau informasi, ketika sudah dilepas dari proses produksinya, maka produk tersebut akan lepas relasinya dengan produksi dan mempunyai nilai sosial termasuk juga di dalamnya nilai politik. Masyarakat di Sawangan bebas menginterpretasikan produk-produk dari luar tersebut sesuai dengan kulturalnya. Semakin menguntungkan sesuatu yang mereka lihat dan mereka dengar, semakin cepat masyarakat mengadopsinya. Sebaliknya, semakin kecil keuntungan yang bisa diperoleh dari sana, semakin kecil pula peluang masyarakat menerimanya.
Catatan:
(1) Lihat Scott dalam bukunya Ekonomi Moral Petani (1981)
(2) Dari laporan penelitan lapangan Keluarga Mahasiswa Antropologi Universitas Gadjah Mada (1986), menjelaskan bahwa kecamatan Petungkriyono ini merupakan daerah penghasil selong terbesar untuk daerah Jawa Tengah. Selong ini lebih banyak ditanam di dukuh Rowo, Si Petung, Ndranan, dan Karang Gondang, sementara untuk Dukuh Sawangan, tidak ada masyarakat yang menanam selong. Menurut mereka ini lebih disebabkan karena keterbatasan lahan yang mereka punyai, karena itu lahan lebih diprioritaskan untuk tanaman pangan, seperti padi
(3) Dataran tinggi ini menurut Li (yang mengutip Allen dan Allen yang juga mengutip Spencer) sama dengan uplands, yang didefinisikan sebagai ‘daerah yang berbukit hingga bergunung dengan permukaan daratan yang cenderung terjal, yang berada di tempat yang tinggi’. Dalam defenisi ini juga dapat juga ditambahkan bahwa daerah ini umumnya tidak mendapatkan irigasi, tidak langsung berbatasan dengan pesisir, dan juga tidak mengalami banjir musiman (2002: xviii). Gambaran Li ini menurut saya cocok untuk menyatakan bahwa daerah Petungkriyono termasuk dalam kategori daerah pegunungan. Hefner (1999) juga menyebut orang gunung dengan “wong gunung” (uplanders) yang dipertentangkan dengan “wong ngare” (lowlanders) atau orang dataran rendah
(4) Kecil, dalam hal ini menurut jika dibandingkan dengan keuntungan yang diberikan oleh hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua
(5) Banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang menyimpulkan gejala seperti ini. Diantaranya lihat misalnya Roseberry (1989), Hayami dan Kikuchi (1987: 10-14), dan Santoso (2006:18)
Ketika mendengar akan pergi ke daerah Petungkriyono, saya membayangkan disana akan menemukan sekelompok masyarakat yang masih sederhana dan bersahaja, jujur, tidak memperlakukan uang seperti bagaimana orang kota, masyarakat tanpa stratifikasi sosial yang ketat, petani dengan pola subsistensi dan ekonomi moral seperti yang dibayangkan oleh James Scott(1). Gambaran sebuah desa yang terisolir, dan bebas dari arus globalisasi. Imajinasi ini dibentuk oleh informasi-infomasi mengenai Petungkriyono yang saya dapatkan sebelumnya, baik cerita orang-orang maupun dari buku-buku yang bercerita tentang petungkriyono dan daerah pedalaman di Jawa. Mereka pada umumnya mengambarkan Petungkriyono sebagai sebuah desa yang terisolir, di tengah hutan belantara, dan berada di pegunungan. Untuk bisa menuju ke sana kita harus melalui hutan dan jalan yang menanjak. Namun ketika saya sudah berada di sana, imajinasi tentang Petungkriyono seperti gambaran di atas, mulai berubah. Memang, masyarakat di sana dalam kacamata saya adalah masyarakat yang bersahabat, bersahaja (dibandingkan dengan masyarakat kota tempat saya biasanya berada), namun masyarakat ini bukanlah masyarakat yang terisolir. Sarana transportasi umum sudah ada di sana dan saya juga menemukan masyarakat yang sudah mempunyai televisi (bahkan ada yang lengkap dengan parabolanya), vcd player, sepeda motor, dan rumah-rumah yang lantainya dilapisi dengan marmer. Di sana juga terlihat Helleur, sebuah teknologi untuk menggiling padi menjadi beras. “di sini sudah berubah”, itulah ungkapan dari salah seorang penduduk desa.
Sekilas gambaran mengenai masyarakat Petungkriyono ini, telah menuntun saya untuk menyimpulkan bahwa masyarakat di sana telah dan sedang mengalami transformasi. Sebagai daerah yang menyandarkan kehidupannya pada sektor pertanian, tansformasi juga terjadi di bidang pertanian. Proses transformasi pertanian pada dasarnya merupakan sebuah proses pembangunan pertanian, yaitu suatu proses perubahan pada berbagai aspek di bidang pertanian. Perubahan tersebut tidak hanya berupa mekanisasi dan teknologi namun lebih jauh lagi pada ekonomi dan kehidupan sosial mayarakatnya, seperti masalah perubahan identitas, otoritas, dan budaya masyarakat itu sendiri. Dengan demikian proses transformasi pertanian dapat dikatakan sebagai proses transformasi pedesaan.
Masyarakat Petungkiyono adalah masyarakat yang agraris. Untuk kebutuhan pangan, masyarakat menanam padi di sawah dengan memanfaatkan sungai-sungai yang ada di daerah tersebut sebagai pengairan. Tanaman pangan lainnya adalah jagung, ubi kayu, dan sayuran. Sementara itu, komoditi yang dihasilkan oleh masyarakatnya di sana adalah kopi, gula aren, cengkeh, vanili dan bawang daun (selong)(2) . Kopi, cengkeh, dan vanili, tidak mereka tanam dalam bentuk tegalan atau kebun, namun mereka menanamnya di hutan-hutan yang ada disekitar pemukiman mereka, sementara bawang daun (selong) ditanam dalam bentuk tegalan. Untuk Aren, mereka tidak menanamnya, karena aren ini tumbuh dengan sendirinya di hutan-hutan dan lahan milik mereka. Mereka juga memiliki hewan ternak seperti sapi dan ayam.
Keanekaragaman tanaman pangan dan tanaman komoditi ini jelas tidak tumbuh dengan sendirinya di dalam masyarakat. Mereka mulai menanamnya seiring dengan perubahan yang terjadi dalam diri mereka. Perubahan ini bisa disebabkan oleh adanya intervensi dari pemerintah, seperti progam “Revolusi Hijau”, dimana pemerintah mengenalkan bibit unggul kepada masyarakat dengan berbagai macam progamnya, seperti keberadaan BIMAS dengan para penyuluh pertanian yang membantu petani dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan baru dan pengenalan teknologi-teknologi pertanian, maupun kredit-kredit murah yang diberikan kepada petani untuk dapat meningkatkan usaha taninya. Dinamika politik yang terjadi, baik di tingkat lokal maupun nasional juga membawa perubahan kepada masyarakat (lihat Hefner 1999 dan Husken 1998). Begitupun dengan proyek-proyek pembangunan pemerintah, seperti pembangunan jalan-jalan yang telah memudahkan akses orang-orang luar masuk ke dalam desa, maupun penetapan kawasan hutan di daerah Petungkriyono sebagai kawasan hutan lindung. Keberadaan pohon pinus yang ditanam oleh pemerintah di hutan sekitar perkampungan juga membawa pengaruh kepada masyarakat. Masyarakat mendapatkan penghasilan tambahan dengan mengambil getah pinus dan menjualnya pada Perhutani. Selain itu, pengaruh pasar dunia (kapitalisasi dan globalisasi) yang telah menyentuh masyarakat di sana juga menjadi salah satu faktor penyebab. Tanaman vanili aja misalnya, menurut masyarakat di sana, pada saat harga vanili lagi mahal-mahalnya (sekitar tahun 2000-2002), banyak dari masyarakat yang menanam vanili. Namun ketika harga vanili jatuh, masyarakat tidak lagi mempedulikan tanaman vanili tersebut. Begitupun dengan dinamika internal dalam masyarakat itu sendiri, seperti bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini memperlihatkan adanya proses transformasi yang terjadi di sektor pertanian di Petungkriyono.
Dalam melihat transfomasi pertanian di pedesaan Jawa ini, kita harus membedakan antara masyarakat Jawa pegunungan(3) dengan masyarakat Jawa di dataran rendah. Perbedaan ini disebabkan petani pegunungan merespons desakan komersial dan demogafi secara amat berbeda dengan petani di dataran rendah (Lihat Hefner 1999). Hefner (1999: 379-380) dalam penelitiannya di daerah pegunungan Jawa menjelaskan bahwa meskipun sangat dipengaruhi oleh berbagai hal yang terjadi di sekitarnya, masyarakat dataran tinggi berbeda dengan gambaran masyarakat pertanian di dataran rendah. Tatanan sosial tidak dikelaskan ke dalam kelompok-kelompok sosial. Kepemilikan tanah didasarkan pada kepemilikan individu dan hak waris tanah, bukan kepemilikan komunal. Kebanyakan tanah pertanian digarap oleh pemiliknya sendiri. Pola patron-klien yang sangat umum di pertanian sawah Asia Tenggara secara jelas juga tidak dikenal pada masyarakat pegunungan. Dinamika interaksi di dataran tinggi ditentukan oleh para petani menegah yang bebas. Orang gunung bergantung pada tanahnya sendiri, bukan “jaminan subsistensi” dari patron yang membawahinya (Scott 1976:5), untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. (Hefner 1999:4).
Perbedaan antara masyarakat dataran rendah dan dataran tinggi ini juga menyebabkan telah tejadinya perbedaan perlakuan dari pihak-pihak luar, terutama penguasa. Menurut Li, daerah pegunungan (dan juga masyarakat pedalaman) Indonesia, telah terbentuk sebagai wilayah yang tersisih melalui perjalanan sejarah keterlibatan politik, ekonomi, dan sosial dengan daerah dataran rendah, yang sudah lama dan masih terus berlangsung. Ketersisihan ini pada akhirnya menyebabkan masyarakat pegunungan dan masyarakat pedalaman, identik dengan masyarakat yang terisolir. Padahal menurut Colombijn (yang dikutip oleh Li dalam Anthony Reid 1988), pusat-pusat konsentrasi penduduk Indonesia pada masa prakolonial bukanlah di daerah pesisir, melainkan di daerah pedalam, dan khususnya di lembah-lembah dan dataran tinggi pegunungan. Pemusatan ini didasarkan atas alasan ekonomi dan politik (Li, 2002:11). Bahkan Semedi (2006: 129) menjelaskan kalau pelabelan sebuah daerah sebagai daerah terisolir adalah mitos belaka. Sebuah mitos yang dibuat oleh penguasa, masyarakat, dan para ahli atau akademisi.
Salah satu bentuk mitos ini dapat dilihat pada penetapan hutan sebagai kawasan hutan lindung. Dalam melihat hutan lindung ini, Li menjelaskan bahwa karena hutan di Jawa hanya memberikan “bagian yang sangat kecil dari pendapatan nasional yang berasal dari hutan (4)” (Barber 1989: 124), maka tujuan utama dari kegiatan pemerintah “mengelola hutan” di Jawa adalah mengontrol penduduk yang tinggal di daerah pedalaman ini, dan bukan untuk mencari pemasukan uang atau keuntungan. Pentingnya hutan bagi proses perluasan kontrol negara terhadap daerah pedalaman berlangsung tidak hanya sekedar menyangkut masalah pohon-pohonnya. Di pulau jawa menurut Li (mengutip Barber 1989) 50% dari jumlah penduduk tidak memiliki lahan, namun 23% dari luas lahan seluruhnya diklasifikasikan sebagai hutan negara, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan pertanian dan penggunaan lainnya, dan di dalam kawasan hutan negara ini, yang tersisa hanyalah bekas-bekas hutan alam, dan tumbuhan jati dan pinus yang sangat tidak produktif. Padahal di perbatasan “hutan” ini terdapat enam ribu desa, yang dihuni 30 juta jiwa, yang sebagian besar di antaranya mendapatkan penghasilan dari hutan (Li 2002: 26-28).
Di daerah Petungkriyono, mitos-mitos ini tergambar dengan pelabelan daerah ini sebagai daerah terisolir ke dua di Jawa Tengah sesudah daerah kepulauan seribu oleh pemerintah (Semedi 2006: 128). Kemudian mitos-mitos ini berlanjut dengan penetapan daerah Petingkriyono sebagai daerah Eko Wisata atau wisata alam oleh pemerintah Kabupaten Pekalongan. Pemerintah juga menyediakan sebuah tempat bagi masyarakat yang ingin berwisata dengan melihat kawasan hutan yang asri dan lengkap dengan fasilitas kempingnya yang disebutnya dengan camping ground. Namun, walaupun berada dalam kondisi yang “terisolasi”, Petungkriyono bukanlah daerah yang benar-benar terisolasi. Berbagai intervensi dengan kepentingan masing-masing ternyata telah sampai menyentuh kehidupan masyarakat.
Kehidupan Petani Sawangan: Antara Moral dan Rasional
Pak Daliri adalah salah seorang informan saya waktu berada di Sawangan. Dia adalah menantu dari mbah Bahu, kepala dukuh Sawangan. Pada awalnya dia tinggal besama mertuanya, namun sekarang dia sudah membangun sebuah rumah di sebuah tanah milik mertuannya yang berada di belakang rumah mertuanya. Dia tinggal bersama istri dan tiga oang anaknya. Anak tertuanya sudah menikah dan mempunyai seorang anak dan tinggal bersama mereka. Menurut pak Daliri, mayoritas penduduk sini pekerjaannya adalah bertani. Pertanian di sini adalah pertanian lahan basah dan lahan kering. Lahan basah di tanami dengan padi, sementara lahan kering yaitu : Aren, Kopi, cengkeh, ubi kayu, rumput gajah, pocung, nangka, kelapa, pisang, pepaya, jengkol, durian, bambu, petai, vanili, tomat, dan lainnya. Tumbuhan ini tidak semuanya mereka tanam, tapi ada juga yang tumbuh dengan sendirinya. Tumbuhan yang di tanam adalah : kopi, cengkeh, ubi kayu, rumput gajah, vanili, tomat, cabe, pisang, sementara yang lain seperti : Aren, Pocung, Nangka, Durian, Kelapa, bambu, Jengkol, Petai, itu tumbuh dengan sendirinya. Pak Daliri sendiri mempunyai sawah, kopi di hutan, Aren, dan tumbuh-tumbuhan lainnya seperti nangka, jengkol, petai, dan sapi. Untuk memenuhi makanan sapinya, dia juga menanam rumput gajah di lahan kering di sekitar pemukiman.
Kopi lebih banyak di tanam di hutan. Karena cuaca di hutan lebih cocok dengan kopi dibandingkan jika menanam kopi di seikitar daerah pemukiman. Kelembaban suhu dan hutan yang rimbun menyebabkan buah kopi lebih banyak dan lebih besar dibandingkan dengan cuaca di sekiar pemukiman yang panas yang menyebabkan buah tumbuh tidak banyak. Rata-rata di tanam sebanyak 1000 sampai 2000 batang perhektar/area. Waktu menanam kopi, mereka hanya membersihkan hutan dari semak belukar yang ada. Mereka tidak menebang pohon-pohon yang ada di hutan untuk di buka areal kopi, namun mereka menanam kopi ini di sela-sela pohon besar tersebut. Hal ini disebabkan karena menurut pak Daliri, hutan tersebut adalah hutan miliki Perhutani (pemerintah) dan masyarakat dilarang untuk menebang kayu di hutan tersebut. Selain kopi, mereka juga mengambil kayu bakar, bambu, dan rumput gajah di hutan. Selain itu, mereka juga ke hutan untuk mengambil tanaman mereka yang sudah bisa panen seperti; nangka, kelapa, durian, jengkol, petai, pocung dan aren.
Daerah di sekitar hutan juga mereka tanami dengan berbagai tumbuhan tersebut. terutama pisang, ubi kayu, pepaya, cabe rawit dan tomat. Hasil dari tumbuhan ini digunakan untuk keperluan dapur mereka sehari-hari. Selain itu mereka juga menanam rumput gajah. Penanaman ruput gajah ini disebabkan karena rumput gajah adalah makanan utama dari sapi mereka. Banyaknya masyarakat yang memelihara sapi, menyebabkan ketersediaan rumput gajah di hutan semakin berkurang, sehingga mereka menanam rumput gajah ini untuk lebih memudahkan mereka mengambil ruput gajah dan menjamin ketersediaan makanan bagi sapi mereka.
Ketika musim kemarau, air yang mengairi sungai mereka menjadi kecil. Sawah-sawah mereka juga menjadi kering. Dulunya, pada musin kemarau ini, sawah mereka yang kering ditanami dengan jagung. Namun sekarang ketika musim kemarau datang, mereka tidak lagi menanam jagung, namun hanya membiarkan sawah tersebut. Menurutnya, hal ini disebabkan karena banyak dari mereka yang merasa malas untuk menanam jagung, sebab jagung memerlukan pemeliharaan yang membutuhkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan padi. Lagipula di Sawangan tidak ada mesin penggolahan jagung. Masyarakat dulunya juga pernah menanam vanila di sini. Pada saat itu sekitar tahun 2000an, harga vanila sangat tinggi di pasaran, yaitu sekitar 200 ribu sampai 600 ribu rupiah. Banyak dari masyarakat yang kemudian menanam vanili di hutan-hutan dekat perkampungan mereka. Namun masyarakat tidak banyak yang bisa menikmati harga yang tinggi ini. Harga yang cukup tinggi ini tidak bertahan lama di pasaran. Ketika banyak pohon vanili masyarakat yang sudah berbuah dan dipanen, harga vanili jatuh drastis sampai lima ribu rupiah. Sekarang tanaman ini tidak lagi ditanam oleh masyarakat, dan kalaupun ada, pohonnya dibiarkan saja tanpa dioleh.
Kasus cengkeh juga hampir sama dengan vanili ini. Ketika cengkeh lagi mahal, banyak masyarakat yang kemudian menanam cengkeh. Semua ini menurut pak Daliri harus dilakukan oleh masyarakat. Sebab kehidupan sekarang tidak sama dengan waktu dulu. Semua kebutuhan hidup semakin meningkat. Hampir semua orang sekarang sudah mempunyai televisi. Bahkan ada beberapa orang di sini yang sudah mempunyai motor dan rumahnya dilantai dengan marmer. Selain kebutuhan untuk membeli barang-barang tersebut, kami juga membutuhkan uang untuk sekolah anak. Karena itu orang-orang sudah mulai mencari dan mengumpulkan uang agar bisa membeli semua kebutuhan tersebut. Kalau hanya bersandarkan kepada hasil panen padi, kami tidak akan bisa membeli semua kebutuhan tersebut. Padi hanya menjamin kebutuhan untuk makan. Karena lahan yang kami punyai hanyalah lahan untuk padi, maka kami perlu memelihara sapi agar bisa mencukupi kebutuhan lainnya. Masyarakat tidak bisa membuka lahan baru karena hutan di sana adalah milik Perhutani. Namun kami diperbolehkan untuk menanam kopi asal tidak menebang pohon-pohon yang ada di sana.Karena itu banyak warga sini yang kemudian membersihakan hutan agar bisa menanan kopi.
Mengikuti logika kaum ekonomi moral, beberapa bagian dari aktivitas pertanian di atas mengambarkan sistem pertanian yang berlandaskan ekonomi moral. Ini merujuk apa yang disampaikan oleh Scott (1982: 23-28), bahwa kehidupan ekonomi petani hanyalah sedikit di atas garis subsistensi mereka. Kondisi serba miskin ini akan memunculkan etika subsistensi, dimana tata ekonomi petani diikat oleh sistem moral, agar beban kerja dan rejeki terbagi secara merata sehingga tidak ada satu warga desapun yang sampai mengalami kelaparan. Ini berarti bahwa perilaku ekonomi masyarakat petani dilangsungkan berdasarkan prinsip safety first atau dahulukan selamat. Inovasi yang terjadi dalam masyarakat hanya terjadi apabila keamanan subsistensi sudah terjaga dan ia yakin benar bahwa investasi tadi akan mendatangkan hasil, dan ketika mereka merasa etika subsistensi mereka mendapatkan ancaman.
Masyarakat dalam pandangan kaum moralis ini adalah sebuah masyarakat yang harmonis, yang memberikan jaminan sosial bagi kelangsungan hidup warganya. Pada masyarakat di Sawangan, mereka bersandarkan kepada sawah sebagai pemenuhan kebutuhan meraka. Tidak ada tanaman lain yang mereka coba tanam sebagai tanaman lain penganti padi. Kasus Jagung misalnya, walaupun kondisi tanah mereka lebih cocok ditanami jagung karena kondisi kemarau yang melanda mereka, namun mereka tidak mencoba untuk menanam jagung. Mereka merasa takut dengan resiko yang akan mereka dapatkan kalau mereka menanam jagung. Cara lain yang dia lakukan adalah dengan menanam tanaman-tanaman yang harganya lagi mahal di pasaran. Ketika harga vanila lagi melambung tinggi dia juga menanam vanila. Pola-pola seperti ini diikuti oleh hampir semua warga masyarakat. Mereka menanam vanila ini di hutan-hutan sekitar tempat tinggal mereka. Begitupun saat harga cengkeh sedang tinggi, mereka pun banyak yang menanam cengkeh. Namun ketika pasar sudah tidak lagi menawarkan harga yang tinggi, maka tanaman-tanaman ini kemudian ditinggalkan. Sekarang kopi adalah komoditas utama mereka, selain tanaman-tanaman keras yang sudah tumbuh lama seperti nangka, pocung, dan duren. Semua aktivitas ini dilakukan karena sawah telah memberikan jaminan hidup bagi mereka.
Namun realita ini menjadi berbeda menurut cara pandang para kaum rasionalis. Popkin (1979) sebagai seorang tokoh “rasionalis”, mempunyai pemikiran bahwa ketika petani sudah melibatkan diri dalam ekonomi pasar, menanam komoditi, atau menjual tenaga ke pasar, hal ini disebabkan bukan karena mereka merasa etika subsistensi mereka terancam, melainkan karena mereka melihat bahwa pasar menawarkan peluang kehidupan yang lebih baik daripada yang ada di desa. Dalam kondisi sosial ekonomi di dalam desa yang demikian payah, maka tanpa disuruhpun ketika ekonomi pasar merembes ke pedesaan kaum peasant akan berbondong-bondong mengalir kesana. Desa-desa petani menurut Popkin sama sekali jauh dari kondisi harmonis dan penuh dengan ekploitasi. Bukannya diikat oleh moralitas kolektif, petani adalah manusia individual yang kepalanya penuh perhitungan untung rugi untuk kepentingan dirinya. Sebagai akibarnya, petani tidak mau sembarangan melibatkan diri dalam aktivitas kolektif bila secara subjektif dia tidak mendapatkan hasil (Sairin dkk 2002: 230).
Saya lebih melihat kondisi yang dialami oleh masyarakat di Sawangan ini sebagai sebuah bentuk petani dalam kondisi perubahan. Transformasi yang telah terjadi di bidang pertanian, selain menyebabkan terjadinya perubahan di berbagai aspek pertanian, juga pada aspek ekonomi dan sosial masyarakat. Pola moral yang terdapat pada masyakat sebelumnya juga telah berubah menjadi petani rasional seperti yang dijelaskan oleh Popkin. Kenalnya masyarakat dengan ekonomi pasar bukanlah seperti yang dijelaskan oleh kaum moralis, namun karena pasar lebih menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Mereka jadi lebih paham dengan tanaman-tanaman yang bisa menghasilkan uang lebih. Ini mempengaruhi mereka dalam memilih jenis tanaman yang akan mereka tanam. Kehidupan mereka yang berada dalam keadaan “terisolir” tidak membuat mereka menjadi “terisolir” juga dengan pengaruh globalisasi. Standar kedidupan lebih berdasarkan kepada kehidupan modern, yaitu memiliki televisi, vcd Player, bukan lagi rumah dari kayu, dilantai dengan marmer, punya sepeda motor, dan bersekolah. Parameter kehidupan bukan lagi berlandaskan kepada kebudayaan mereka, tetapi juga kepada kebudayaan luar atau pasar. Desa, dengan demikian tidak lagi berdiri sendiri, tapi telah ditarik oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar, sesuai dengan kepentingannya. Kehidupan menjadi lebih rasional. Tindakan-tindakan dilandasi oleh rasionalisasi mereka terhadap kehidupan. Pemilihan terhadap jenis tanaman, ataupun bagaimana mereka menyiasati kekurangan lahannya dengan memanfaatkan hutan
Transformasi Pertanian: Tarik Ulur Masyarakat Desa dengan Pihak Luar
Proses perubahan yang terjadi bukan hanya pada masalah material pertanian saja, akan tetapi juga pada masalah moral. Dampaknya menurut Hefner (1999: 1-2) terasa tidak hanya pada fakta lugas berupa pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi dan otoritas. Perubahan yang terjadi ini tidak dapat dipungkiri karena disebabkan oleh pertumbuhan kapitalisme industri di dunia. dalam kondisi globalisasi sekarang ini, dapat dikatakan tidak ada lagi masyarakat yang bebas dari pengaruh ekonomi global (pasar), sehingga masyarakat yang semula hidup berpedoman pada nilai-nilai norma dan budayanya, kemudian harus masuk ke dalam bagian kelompok daerah, negara, maupun ekonomi dunia, dan mereka menjadi bagian di dalamnya (5). Fenomena ini juga di dukung oleh argumennya Castell (2000) bahwa individu sudah terintegasi dengan jaringan global. Akibatnya cara pikir orang juga mengalami perubahan. Santoso (2006: 12) menambahkan bahwa masyarakat lokal dengan strukturnya kebutuhan yang stabil pada akhirnya harus bernegoisasi dengan dunia di mana identitas dan selera senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan produksi dan status.
Semuanya ini menyebabkan terjadinya pe-redefinisian dan re-orientasi serta re-negoisasi yang tidak hanya terkait dengan aspek produksi, tetapi juga konsumsi dan nilai-nilai budaya masyarakat. Kecenderungan baru ini yang lebih bernuansa mekanis dan rasional, disadari atau tidak, kini tengah merekonstruksi kerangka dasar dan corak kehidupan pada masyarakat pedesaan (lihat Santoso 2006: 12). Perubahan-perubahan pada masyarakat Sawangan ini terjadi sedemikian rupa sehingga menimbulkan konsekuensi-konsekuensi baru dalam segenap kehidupan, termasuk bagaimana mereka mendefinisikan dan menegosiasikan tindakan-tindakan tertentu yang terjadi di masa lalu. Orang kini lebih suka menanam tanaman yang berorientasi kepada pasar, atau mensiasati hutan-hutan disekitar mereka dengan menanaminya dengan tumbuhan-tumbuhan yang memiliki komoditi lebih. Kehidupan sosial mereka dulu yang lebih sederhana, berganti dengan kehidupan individual dan rasional.
Keterpinggiran dan kemiskinan yang dihadapi oleh orang Sawangan ini merupakan sebuah konsekuensi dengan masuknya pengaruh dari dunia luar. Mereka dengan gampangnya membandingkan dirinya dengan masyarakat desa Jawa lain yang lebih maju. Aspirasi-aspirasi baru dari masyarakat ini merupakan salah satu konsekuensi yang harus diterima dari perubahan dan pergeseran. Namun Hefner (1999) menyatakan perubahan dan pergeseran pada segenap sendi kehidupan masyarakat pedesaan, tidak bisa disederhanakan hanya dengan dua aspek ekonomi moral dan rasional ini. Ada aspek-aspek lain, kekuataan-kekuatan tertentu yang terkadang tidak secara langsung muncul ke permukaan, tetapi memberikan andil besar bagi perubahan dan pergeseran tersebut. Ketika masyarakat Sawangan mulai senang mengumpulkan uang untuk membeli televisi, vcd, dan sepeda motor, kita tidak bisa mengatakan bahwa mereka sedang memasuki peradaban modern yang rasional, tapi kita juga tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa mereka tertarik oleh bujuk rayu promosi iklan di berbagai media.
Namun kita tidak bisa menyederhanakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat petani di Sawangan ini terjadi semata-mata karena proses rasionalisasi individu-individu terhadap impian-impian kesejahteraan yang didasarkan kepada modernisasi. Tapi kita juga harus membuka mata terhadap kekuatan pasar dan intervensi yang dilakukan oleh pemerintah. Seperti yang disampaikan oleh Li (2002), bagi sebagian besar masyarakat di daerah pegunungan dan pedalaman, perubahan adalah keniscayaan, dan tidak dibebankan secara sepihak sebagai akibat dari penetrasi nilai-nilai dari luar, sebaliknya, perubahan merupakan akibat dari kreatif dalam suatu interaksi sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Masyarakat di Sawangan, walaupun sudah terintegrasi dengan jaringan global, dan juga telah mengalami perubahan dalam cara berfikir, mereka tidak akan dengan mudah menerima apapun yang datang dari luar tersebut dengan mudahnya. Mereka tetap mempunyai kebebasan dalam memilih. Sesuai dengan yang dipaparkan oleh Appadurai, suatu produk, entah itu barang atau informasi, ketika sudah dilepas dari proses produksinya, maka produk tersebut akan lepas relasinya dengan produksi dan mempunyai nilai sosial termasuk juga di dalamnya nilai politik. Masyarakat di Sawangan bebas menginterpretasikan produk-produk dari luar tersebut sesuai dengan kulturalnya. Semakin menguntungkan sesuatu yang mereka lihat dan mereka dengar, semakin cepat masyarakat mengadopsinya. Sebaliknya, semakin kecil keuntungan yang bisa diperoleh dari sana, semakin kecil pula peluang masyarakat menerimanya.
Catatan:
(1) Lihat Scott dalam bukunya Ekonomi Moral Petani (1981)
(2) Dari laporan penelitan lapangan Keluarga Mahasiswa Antropologi Universitas Gadjah Mada (1986), menjelaskan bahwa kecamatan Petungkriyono ini merupakan daerah penghasil selong terbesar untuk daerah Jawa Tengah. Selong ini lebih banyak ditanam di dukuh Rowo, Si Petung, Ndranan, dan Karang Gondang, sementara untuk Dukuh Sawangan, tidak ada masyarakat yang menanam selong. Menurut mereka ini lebih disebabkan karena keterbatasan lahan yang mereka punyai, karena itu lahan lebih diprioritaskan untuk tanaman pangan, seperti padi
(3) Dataran tinggi ini menurut Li (yang mengutip Allen dan Allen yang juga mengutip Spencer) sama dengan uplands, yang didefinisikan sebagai ‘daerah yang berbukit hingga bergunung dengan permukaan daratan yang cenderung terjal, yang berada di tempat yang tinggi’. Dalam defenisi ini juga dapat juga ditambahkan bahwa daerah ini umumnya tidak mendapatkan irigasi, tidak langsung berbatasan dengan pesisir, dan juga tidak mengalami banjir musiman (2002: xviii). Gambaran Li ini menurut saya cocok untuk menyatakan bahwa daerah Petungkriyono termasuk dalam kategori daerah pegunungan. Hefner (1999) juga menyebut orang gunung dengan “wong gunung” (uplanders) yang dipertentangkan dengan “wong ngare” (lowlanders) atau orang dataran rendah
(4) Kecil, dalam hal ini menurut jika dibandingkan dengan keuntungan yang diberikan oleh hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua
(5) Banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang menyimpulkan gejala seperti ini. Diantaranya lihat misalnya Roseberry (1989), Hayami dan Kikuchi (1987: 10-14), dan Santoso (2006:18)